Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Dilema Demokrasi, Menyeimbangkan Keamanan Siber dan Kebebasan Berekspresi di Era Digital

18 Juli 2024   11:18 Diperbarui: 19 Juli 2024   03:20 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cybersecurity. (Shutterstock via Kompas.com)

Era digital telah membawa perubahan signifikan dalam lanskap politik dan sosial di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sementara teknologi digital menawarkan peluang besar untuk partisipasi demokratis dan kebebasan berekspresi, ia juga memunculkan tantangan baru terkait keamanan nasional dan stabilitas sosial. 

Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, menghadapi dilema dalam menyeimbangkan kebutuhan akan keamanan siber dengan perlindungan kebebasan berekspresi warga negaranya.

Keamanan siber telah menjadi perhatian utama pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah serangkaian insiden peretasan data yang menghebohkan. Salah satu contoh paling mencolok adalah peretasan pusat data nasional Indonesia pada Mei 2023. 

Dalam insiden ini, peretas berhasil mengakses dan mencuri data sensitif dari berbagai lembaga pemerintah, termasuk kementerian dan badan intelijen. Insiden ini mengungkapkan kerentanan infrastruktur digital Indonesia dan menimbulkan kekhawatiran serius tentang kemampuan negara untuk melindungi informasi sensitif.

Selain itu, pada September 2022, terjadi peretasan data militer dan polisi Indonesia yang mengekspos informasi pribadi dari ribuan personel keamanan. Insiden ini tidak hanya membahayakan keamanan individu yang terdampak, tetapi juga berpotensi mengancam keamanan nasional secara lebih luas.

Menghadapi ancaman-ancaman ini, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk memperkuat keamanan sibernya. Indonesia telah meningkatkan investasinya dalam infrastruktur keamanan siber dan mengembangkan kerangka hukum yang lebih ketat untuk mengatur ruang digital. 

Namun, beberapa kebijakan yang diterapkan untuk meningkatkan keamanan siber telah dikritik karena berpotensi membatasi kebebasan berekspresi.

Salah satu contoh utama dari dilema ini adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ini, yang awalnya dirancang untuk melawan kejahatan siber dan melindungi pengguna internet, telah sering dikritik karena digunakan untuk membungkam kritik dan membatasi kebebasan berekspresi online. 

UU ITE telah menjadi alat represi digital yang efektif, memungkinkan penguasa untuk mengkriminalisasi ekspresi online yang dianggap 'menyinggung' atau 'mengganggu ketertiban umum'.

Data dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menunjukkan peningkatan signifikan dalam kasus-kasus terkait UU ITE, dengan banyak di antaranya melibatkan pengguna media sosial yang mengkritik pejabat pemerintah atau kebijakan publik (SAFEnet, 2023). 

Situasi ini menciptakan apa yang disebut oleh Tapsell (2020) sebagai efek menakutkan pada kebebasan berekspresi online. Maksudnya, warga negara menjadi ragu untuk mengekspresikan pendapat mereka karena takut akan konsekuensi hukum.

Di sisi lain, pemerintah berargumen bahwa regulasi seperti UU ITE diperlukan untuk menjaga stabilitas sosial dan mencegah penyebaran informasi yang salah atau berbahaya. Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia, Johnny G. Plate, menjelaskan bahwa kebebasan berekspresi harus diimbangi dengan tanggung jawab untuk tidak menyebarkan informasi yang dapat membahayakan kepentingan publik atau keamanan nasional (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2022).

Namun, kritikus berpendapat bahwa pendekatan ini terlalu luas dan berpotensi disalahgunakan. Penggunaan UU ITE untuk membungkam kritik politik merupakan indikator kemunduran demokrasi di Indonesia. Keseimbangan antara keamanan dan kebebasan telah bergeser terlalu jauh ke arah kontrol pemerintah.

Dilema ini semakin diperumit oleh munculnya teknologi baru seperti kecerdasan buatan (AI) dan big data. Teknologi ini menawarkan potensi besar untuk meningkatkan keamanan siber, mereka juga membawa risiko baru terkait privasi dan kebebasan individu. 

Penggunaan AI untuk pengawasan dan moderasi konten online dapat mengancam anonimitas dan kebebasan berekspresi jika tidak diatur dengan hati-hati.

Indonesia juga menghadapi tantangan dalam menangani disinformasi dan propaganda online, yang telah terbukti mampu mempengaruhi opini publik dan bahkan hasil pemilihan. Kasus-kasus seperti kampanye #2019GantiPresiden menjelang pemilihan presiden 2019 menunjukkan bagaimana media sosial dapat dimanipulasi untuk tujuan politik (Tapsell, 2020). 

Meski begitu, upaya untuk mengatasi disinformasi harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak membatasi kebebasan berekspresi yang sah.

Solusi 

Menghadapi dilema ini, beberapa pendekatan yang lebih nuansa dan berfokus pada literasi digital tampaknya masih relevan. Peningkatan literasi digital masyarakat adalah kunci untuk menciptakan ruang online yang aman dan bebas tanpa harus bergantung pada regulasi yang berlebihan.

Ini melibatkan pendidikan publik tentang keamanan online, pemikiran kritis terhadap informasi digital, dan pemahaman tentang hak dan tanggung jawab digital.

Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil dianggap penting dalam mencari solusi yang seimbang. Dialog multi-pemangku kepentingan dapat membantu mengembangkan pendekatan yang melindungi keamanan nasional sambil menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan berekspresi.

Beberapa inisiatif positif telah muncul dalam hal ini. Misalnya, pembentukan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada 2017 menandai langkah penting dalam memperkuat kapasitas keamanan siber Indonesia. BSSN perlu beroperasi dengan transparansi dan akuntabilitas untuk memastikan bahwa upayanya tidak mengancam kebebasan digital.

Dalam konteks global, Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara-negara lain dalam menangani dilema ini. Uni Eropa, misalnya, telah mengadopsi Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) yang bertujuan melindungi privasi warga sambil memungkinkan aliran data yang diperlukan untuk inovasi dan keamanan. 

Lim (2021) mengingatkan bahwa setiap solusi harus disesuaikan dengan konteks lokal Indonesia, mengingat keunikan lanskap politik dan sosialnya.

Kesimpulannya, menyeimbangkan keamanan siber dan kebebasan berekspresi di era digital merupakan tantangan kompleks yang dihadapi Indonesia sebagai negara demokrasi. Insiden-insiden seperti peretasan pusat data nasional dan data militer/polisi menekankan urgensi untuk memperkuat keamanan siber. 

Namun, langkah-langkah yang diambil untuk meningkatkan keamanan tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan berekspresi yang fundamental.

Solusi yang efektif akan memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan peningkatan kapasitas teknologi, reformasi hukum yang hati-hati, peningkatan literasi digital masyarakat, dan dialog yang berkelanjutan antara semua pemangku kepentingan. 

Walau memerlukan waktu dan tidak mudah, Indonesia dapat berharap untuk menciptakan ruang digital yang aman, bebas, dan demokratis, sambil mempertahankan posisinya sebagai contoh demokrasi di kawasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun