Visi ini telah berkembang menjadi inisiatif ambisius seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang bertujuan untuk menciptakan pasar dan basis produksi tunggal. Meskipun implementasinya menghadapi tantangan, MEA menunjukkan bagaimana aspirasi awal ASEAN terus berkembang untuk menghadapi realitas ekonomi global yang berubah.
Peran ASEAN sebagai pusat regionalisme Asia juga merupakan perwujudan dari visi para pendirinya. Konon, Deklarasi Bangkok 1967 sengaja dibuat tersamar agar memungkinkan ASEAN berkembang secara organik sebagai respons terhadap dinamika regional yang berubah.
Pendekatan ini telah memungkinkan ASEAN untuk memperluas perannya, memfasilitasi dialog dan kerjasama yang lebih luas melalui forum-forum seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan East Asia Summit (EAS).
Namun, ASEAN juga menghadapi kritik atas perceived ineffectiveness-nya dalam menangani isu-isu regional yang mendesak.Â
Sengketa teritorial di Laut China Selatan, misalnya, telah menguji kemampuan ASEAN untuk bertindak sebagai mediator efektif. Stubbs (2008) melihat 'ASEAN Way' bukan hanya soal penghindaran konflik, tetapi lebih pada upaya menciptakan identitas regional yang berbeda dari model regionalisme Barat, misalnya Uni Eropa.
Tantangannya adalah bagaimana mempertahankan pendekatan khas ini sambil tetap efektif dalam menangani masalah kontemporer. Perkembangan teknologi dan tantangan global seperti perubahan iklim dan pandemi COVID-19 juga menguji relevansi dan adaptabilitas ASEAN.Â
Organisasi ini telah merespons dengan inisiatif seperti ASEAN Smart Cities Network dan ASEAN Comprehensive Recovery Framework, menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan isu-isu kontemporer.Â
Namun, kecepatan dan efektivitas respons ASEAN sering menjadi subjek perdebatan. Tahun-tahun awal ASEAN memang lebih banyak ditandai dengan penekanan pada pembangunan kepercayaan di antara anggotanya, mencerminkan sejarah ketegangan regional yang baru saja terjadi (Leifer, 1989)
Prinsip ini tetap relevan hari ini, terutama ketika ketegangan geopolitik meningkat di kawasan Indo-Pasifik. Peran ASEAN dalam memfasilitasi dialog dan membangun kepercayaan antara kekuatan besar seperti AS dan China menjadi semakin penting.
Tarling (2006) berpendapat bahwa "pembentukan ASEAN dapat dilihat sebagai respons terhadap ketakutan 'Balkanisasi' yang lazim pada tahun 1960-an, bertujuan untuk membuktikan bahwa Asia Tenggara dapat mengelola urusannya sendiri."Â
Dalam konteks saat ini, di mana persaingan kekuatan besar semakin intensif, kemampuan ASEAN untuk mempertahankan sentralitasnya dalam arsitektur regional menjadi semakin penting.