Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kebangkitan "Three Lions" di Tanah Jerman

1 Juli 2024   13:24 Diperbarui: 1 Juli 2024   13:58 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terik matahari Gelsenkirchen seolah membakar semangat para Singa Inggris yang mengaum di Arena AufSchalke. Namun api yang berkobar dalam dada Harry Kane dan kawan-kawan nyaris padam oleh angin dingin yang berhembus dari penjuru Eropa Timur. 

Slovakia, negeri kecil yang terkurung daratan, nyaris memadamkan mimpi Inggris yang telah sekian lama menanti kejayaan. Inilah drama sepakbola yang selalu menghidupkan harapan sekaligus mematahkan hati. 

Inggris, negeri yang mengklaim diri sebagai penemu permainan si kulit bundar, kembali harus berjuang keras melawan bayang-bayang kegagalan masa lalu. Sejarah panjang kekalahan penalti dan kekecewaan di turnamen besar seolah menghantui setiap langkah The Three Lions di lapangan hijau Veltins-Arena.

Namun Gareth Southgate, sang arsitek tim, telah menempa pasukan mudanya dengan bara api ambisi. Jude Bellingham, si pemuda Birmingham yang kini menggetarkan Santiago Bernabeu, menjadi simbol generasi baru Inggris yang tak gentar menghadapi hantu masa lalu. 

Tendangan saltonya yang membelah angkasa di menit-menit terakhir bagai petir yang menyambar kesadaran Inggris - bahwa mereka masih punya harapan. Gol dramatis Bellingham bukan sekadar angka di papan skor. 

Gol itu adalah pertanda perubahan mentalitas tim Inggris yang selama ini sering dituduh sebagai "singa tanpa kepala" - penuh talenta namun lemah mental. Kali ini, di bawah asuhan Southgate, The Three Lions mulai menunjukkan taring dan cakarnya hingga detik-detik terakhir pluit ditiup sang wasit.

Kemenangan tipis 2-1 atas Slovakia bisa saja tak cukup meyakinkan bagi sebagian pengamat. Namun bagi Inggris, ini adalah langkah penting dalam perjalanan panjang mereka menuju kejayaan. 

Setiap tetes keringat yang bercucuran di rumput Gelsenkirchen adalah saksi bisu tekad Inggris untuk mengukir sejarah baru.

Di balik drama lapangan hijau, ada pula dimensi diplomasi yang tak kalah menarik. Pertandingan Inggris-Slovakia bukan sekadar duel 22 pemain, tapi juga cermin hubungan dua negara yang memiliki sejarah panjang. 

Inggris, dengan segala arogansi imperium lamanya, berhadapan dengan Slovakia yang ingin membuktikan diri sebagai kekuatan baru Eropa pasca-Soviet.

Sepakbola memang telah menjadi arena soft power yang efektif. Kemenangan di lapangan hijau bisa berdampak pada citra dan pengaruh suatu negara di kancah internasional. 

Inggris, dengan tradisi sepakbola dan liga domestik terkuat di dunia, tentu tak ingin kehilangan muka di hadapan negara-negara Eropa lainnya.

Namun di sisi lain, Slovakia juga melihat Piala Eropa sebagai kesempatan emas untuk unjuk gigi. Sebagai negara muda yang baru merdeka tahun 1993, prestasi di panggung sepakbola Benua Biru bisa menjadi katalis bagi pengakuan dan respect internasional yang lebih besar. 

Ivan Schranz membuka keunggulan Slovakia. Gol itu sejenak membuat dunia tertegun dan berpaling pada negeri kecil di jantung Eropa ini.

Pertandingan Inggris-Slovakia juga menjadi metafora menarik tentang dinamika Uni Eropa pasca-Brexit. Inggris yang telah memutuskan keluar dari Uni Eropa (UE) kini harus berjuang keras menghadapi negara-negara anggota UE di lapangan sepakbola. 

Ada ironi yang tak terucap ketika Harry Kane dan kawan-kawan harus bersusah payah mengalahkan tim dari negara yang dulu dianggap "kelas dua" dalam percaturan politik Eropa.

Kemenangan dramatis Inggris atas Slovakia mungkin tak akan mengubah peta politik Eropa. Namun ia memberi pelajaran berharga tentang pentingnya kegigihan dan kerja keras dalam menghadapi tantangan. 

Baik dalam sepakbola maupun hubungan internasional, tak ada yang bisa dianggap remeh. Setiap lawan, sekecil apapun, patut dihormati dan diperhitungkan.

Perjalanan Inggris di Piala Eropa 2024 masih panjang. Namun kemenangan atas Slovakia telah membuka pintu harapan yang lebih lebar. 

Harry Kane dan Jude Bellingham telah menunjukkan bahwa generasi baru Inggris siap mengukir sejarahnya sendiri. Mereka tak lagi terkungkung bayang-bayang masa lalu, tapi berani menatap masa depan dengan optimisme baru.

Di tengah dunia yang terus berubah, sepakbola tetap menjadi bahasa universal yang mempersatukan bangsa-bangsa. Lewat drama 90 menit di lapangan hijau, kita diingatkan pada esensi perjuangan dan kemanusiaan yang melampaui batas-batas negara. 

Inggris dan Slovakia mungkin berbeda dalam banyak hal. Meski begitu, mereka disatukan oleh passion yang sama terhadap si kulit bundar di Arena AufSchalke.

Pada akhirnya, kemenangan Inggris atas Slovakia bukan hanya tentang tiga poin atau tiket ke perempat final. Ia adalah kisah tentang harapan yang tak pernah mati, tentang bangsa yang terus bermimpi di tengah berbagai rintangan. 

Dan mungkin, lewat sepakbola, Inggris bisa menemukan kembali identitas dan kepercayaan dirinya yang sempat goyah pasca-Brexit. Karena di lapangan hijau, Three Lions masih bisa mengaum dengan gagah, menginspirasi jutaan pendukungnya di seluruh penjuru Inggris Raya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun