Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Piala Eropa: Panggung Kontestasi Hegemoni dan Identitas

24 Juni 2024   17:13 Diperbarui: 24 Juni 2024   17:14 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di bawah langit Eropa yang membentang luas, sebuah drama kolosal kembali digelar. Bukan sekadar pertarungan 22 pemain di atas lapangan hijau, namun sebuah kontestasi makna yang jauh lebih dalam. 

Piala Eropa, turnamen sepakbola benua biru, menjadi panggung di mana identitas dan hegemoni diperebutkan, dinegosiasikan, dan direkonstruksi. Laga bola itu layaknya sebuah opera sabun kenegaraan. Setiap tendangan, setiap gol, dan setiap kemenangan menjadi babak baru dalam narasi kebangsaan yang tak pernah berujung.

Ernesto Laclau, sang filsuf politik, memberi kita kacamata untuk membaca pertarungan makna ini. Baginya, masyarakat tak pernah sepenuhnya 'terfiksasi', selalu ada celah untuk artikulasi dan reartikulasi makna (Laclau & Mouffe, 1985). 

Di Piala Eropa, kita menonton bagaimana identitas nasional dan regional Eropa terus-menerus dinegosiasikan. Ini tarian tak berkesudahan antara 'kita' dan 'mereka'.

Setiap pertandingan menjadi ritual sakral. Bendera dikibarkan, lagu kebangsaan dikumandangkan, dan air mata kemenangan atau kekalahan ditumpahkan. 

Namun, di balik kemegahan ritual ini, tersembunyi pergulatan makna yang jauh lebih kompleks. 'Eropa' sendiri menjadi nodal point utama dalam kontestasi antara hegemoni dan identitas. 

Bagi negara-negara Eropa Timur, partisipasi dalam Piala Eropa sering kali dilihat sebagai pengakuan atas status 'Eropa' mereka (Crolley & Hand, 2006, p. 109). Seolah-olah dengan bermain di turnamen ini, mereka akhirnya bisa duduk di meja makan yang sama dengan 'saudara-saudara' Barat mereka. 

Sementara itu, bagi negara-negara dengan sejarah kolonial, seperti Inggris atau Prancis, turnamen ini menjadi arena kesempatan untuk membangkitkan kembali kejayaan masa lalu mereka yang telah lama pudar.

Narasi sepakbola nasional sering kali menjadi cermin dari narasi nasional yang lebih luas, termasuk nostalgia imperial (Blain et al.). Setiap gol yang bersarang di gawang lawan seolah menjadi penegasan akan kebesaran nasional dari sebuah bangsa yang tak lekang oleh waktu. 

Namun, bukankah ini hanyalah ilusi? Bukankah kebesaran sejati justru terletak pada kemampuan untuk melihat kemanusiaan di balik perbedaan bendera?

'Kebesaran Eropa' atau 'Kejayaan Sepakbola' menjadi penanda kosong (empty signifier) yang diperebutkan oleh berbagai negara. Setiap negara berusaha mengisi signifier ini dengan makna yang menguntungkan narasi nasional mereka. 

Jerman mungkin melihat keberhasilan di Piala Eropa sebagai bukti efisiensi dan kekuatan organisasi mereka. Lalu, Spanyol menafsirkannya sebagai ekspresi dari kreativitas dan gairah Latin mereka. 

Namun, bukankah kebesaran sejati justru terletak pada kemampuan untuk mengakui keindahan dalam keberagaman? 

Piala Eropa ternyata menghadirkan paradoksnya sendiri. Ada momen-momen di mana identitas Eropa yang lebih luas dapat dirayakan, namun juga momen-momen di mana perbedaan nasional dipertegas. 

Kontestasi hegemoni dalam Piala Eropa juga tercermin dalam pertarungan gaya permainan. Dominasi sebuah gaya permainan tertentu dapat dilihat sebagai bentuk hegemoni kultural. 

Goldblatt (2007) melihatnya sebagai pertarungan ideologis. Keberhasilan tiki-taka Spanyol bukan hanya kemenangan teknis, tetapi juga kemenangan ideologis tentang bagaimana sepakbola seharusnya dimainkan. 

Namun, seperti dalam kehidupan, tidak ada yang abadi dalam sepakbola. Hegemoni selalu bersifat sementara dan dapat ditantang.

Aspek lain dari kontestasi hegemoni di Piala Eropa adalah perebutan narasi sejarah. Negara-negara dengan tradisi sepakbola yang kuat sering kali menggunakan sejarah mereka untuk melegitimasi klaim mereka atas supremasi sepakbola Eropa. 

Seperti yang diajarkan oleh Laclau, sejarah selalu merupakan konstruksi yang bisa dipertanyakan dan direinterpretasi. Szymanski (2018) mengingatkan bahwa sejarah sepakbola Eropa bukanlah narasi linear tentang kemajuan, tetapi serangkaian kontestasi dan negosiasi yang terus berlangsung hingga kini.

Lebih lanjut, kontestasi hegemoni di Piala Eropa juga tercermin dalam pertarungan ekonomi dan politik. Kesuksesan dalam turnamen ini sering kali diterjemahkan ke dalam soft power dan pengaruh ekonomi. 

Keberhasilan dalam mega-event olahraga, seperti Piala Eropa, dapat meningkatkan citra nasional dan daya tarik ekonomi suatu negara. 

Media juga memainkan peran krusial dalam kontestasi hegemoni ini. Media olahraga bukan hanya saluran netral untuk informasi, tetapi agen aktif dalam konstruksi makna dan identitas dalam sepakbola. 

Media menjadi arena di mana narasi-narasi tentang kebangsaan dan Eropa dikonstruksi, ditantang, dan disebarluaskan. Setiap headline, setiap komentar, dan setiap analisis menjadi benang dalam tapestri makna yang terus dirajut.

Piala Eropa juga menjadi cermin yang memantulkan kontradiksi dalam proyek Uni Eropa itu sendiri. Di satu sisi, turnamen ini merayakan keragaman dan persatuan Eropa. Di sisi lain, ia juga mengekspos ketegangan dan perbedaan yang masih ada. 

Lebih dari sekadar kompetisi olahraga, Piala Eropa menjadi panggung di mana drama kemanusiaan dipertontonkan. Ia adalah arena di mana kita melihat bagaimana identitas dibentuk, ditantang, dan dinegosiasikan. 

Sepakbola bukan hanya tentang apa yang terjadi di lapangan, tetapi juga tentang bagaimana ia membentuk dan dibentuk oleh lanskap sosial, politik, dan budaya yang lebih luas. 

Dalam setiap tendangan bola, kita melihat ada pantulan harapan dan kecemasan sebuah benua. Dalam setiap gol yang tercipta, kita mendengar gema sejarah yang panjang dan kompleks.

Di panggung besar Piala Eropa, kita menyaksikan kontestasi hegemoni dan identitas terus berlangsung. Namun mungkin, dalam prosesnya, kita juga menemukan benang-benang kesamaan yang mengikat kita semua. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun