Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Tabrakan Kapal Filipina-China dan Rumitnya Perdamaian di Laut China Selatan

17 Juni 2024   22:59 Diperbarui: 18 Juni 2024   05:36 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laut China Selatan (LCS) telah lama menjadi arena sengketa teritorial yang kompleks, melibatkan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara dan China. Namun, insiden terbaru berupa tabrakan antara kapal Filipina dan China semakin memperumit stabilitas keamanan di wilayah tersebut. 

Peristiwa ini menunjukkan betapa rapuhnya perdamaian di Laut China Selatan dan potensi eskalasi konflik yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Akar permasalahan terletak pada tumpang tindihnya klaim teritorial di Laut China Selatan.

China mengklaim hampir seluruh perairan tersebut berdasarkan "nine-dash line" yang kontroversial, sementara negara-negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei juga memiliki klaim atas bagian-bagian tertentu. Situasi ini menciptakan ketegangan yang terus-menerus dan risiko konfrontasi militer.

Insiden tabrakan antara kapal Filipina dan China menambah kompleksitas situasi keamanan di Laut China Selatan. Menurut laporan, kapal penjaga pantai China menabrak kapal nelayan Filipina di perairan yang dipersengketakan, menyebabkan kerusakan pada kapal Filipina. 

Akibatnya, pemerintah Filipina melayangkan protes dan meningkatkan ketegangan antara kedua negara. Insiden tabrakan dan protes itu bukan pertama kalinya terjadi. 

Selain itu, tabrakan ini tampaknya bukan insiden terisolasi. Perilaku itu bisa saja merupakan bagian dari pola perilaku agresif China di Laut China Selatan. 

Dalam beberapa tahun terakhir, China telah meningkatkan kehadiran militernya di wilayah tersebut, membangun pulau buatan, dan menempatkan instalasi militer di atasnya. Bahkan, ada kekhawatiran bahwa insiden itu merupakan wujud nyata dari tindakan China menganggap kawasan itu adalah wilayah kedaulatannya.

Dok X/MarioNawfal via Tribunnews.com
Dok X/MarioNawfal via Tribunnews.com

Lebih lanjut, tindakan ini dianggap sebagai upaya China untuk mengubah status quo secara sepihak dan memperkuat klaimnya atas LCS. Agresivitas China tidak hanya menimbulkan kekhawatiran di antara negara-negara ASEAN, tetapi juga menarik perhatian masyarakat internasional. 

Amerika Serikat (AS), sebagai kekuatan eksternal utama di kawasan, telah menyatakan dukungannya terhadap kebebasan navigasi dan penerbangan di LCS. Kehadiran militer AS di wilayah tersebut, termasuk operasi kebebasan navigasi (FONOP), semakin menambah kompleksitas dinamika keamanan di LCS.

Menyusul insiden tabrakan terbaru, Filipina menghadapi dilema dalam merespons tindakan China. Di satu sisi, Filipina ingin mempertahankan kedaulatan dan hak-hak maritimnya di LCS. 

Namun, di sisi lain, Filipina juga menghadapi kenyataan mengenai ketergantungannya pada hubungan ekonomi dan investasi dari China. Ketergantungan ini membatasi ruang gerak diplomatik Filipina dan membuatnya sulit untuk mengambil sikap yang tegas terhadap China.

Situasi ini juga tak ayal telah menimbulkan tantangan bagi negara-negara ASEAN lainnya. Meskipun memiliki kepentingan bersama dalam menjaga stabilitas dan keamanan di LCS, negara-negara ASEAN seringkali kesulitan untuk mencapai konsensus dalam menghadapi China. 

Perbedaan kepentingan nasional dan ketergantungan ekonomi pada China menciptakan dinamika yang rumit dalam hubungan intra-ASEAN. Selain itu, negara-negara itu memiliki preferensi diplomasi berbeda untuk menyelesaikan sengketa di kawasan perairan LCS.

Untuk mengatasi kompleksitas situasi keamanan di LCS, upaya-upaya diplomatik yang lebih intensif dan koordinasi yang erat antara negara-negara yang terlibat tetap diperlukan. 

ASEAN perlu memperkuat persatuan dan solidaritas dalam menghadapi tantangan keamanan di kawasan, sambil tetap terbuka untuk dialog dan kerjasama dengan China. 

Mekanisme seperti Deklarasi tentang Perilaku Pihak-Pihak di Laut China Selatan (Declaration of Conduct/DOC) dan Kode Etik (Code of Conduct/COC) yang masih dinegosiasikan harus dipercepat untuk memberikan kerangka kerja yang jelas bagi pengelolaan sengketa secara damai.

Selain itu, keterlibatan masyarakat internasional juga diperlukan untuk menjaga stabilitas dan mencegah eskalasi konflik di Laut China Selatan. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia harus terus mendukung upaya diplomatik dan mempromosikan penyelesaian sengketa secara damai sesuai dengan hukum internasional. 

Tekanan internasional dapat memainkan peran penting dalam mendorong pihak-pihak yang terlibat untuk menahan diri dan menghindari tindakan provokatif.

Namun, jalan menuju stabilitas keamanan di Laut China Selatan masih panjang dan penuh tantangan. Insiden tabrakan antara kapal Filipina dan China menunjukkan bahwa risiko konflik tetap ada dan dapat meningkat sewaktu-waktu. 

Repotnya, risiko itu juga dialami negara-negara lain. Insiden serupa juga terjadi antara kapal Vietnam dan China. Bahkan Indonesia yang memposisikan diri sebagai non-claimant state di Laut China Selatan juga mendapatkan provokasi kapal militer China di perairan Laut Natuna Utara.

Komitmen dan itikad baik dari semua pihak yang terlibat memang diperlukan. Tujuan utamanya adalah untuk mencegah eskalasi ketegangan dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penyelesaian sengketa secara damai.

Dalam menghadapi situasi ini, penting bagi negara-negara di kawasan untuk memprioritaskan dialog dan diplomasi di atas konfrontasi militer. Laut China Selatan bukan hanya sumber sengketa, tetapi juga sumber daya alam yang kaya dan jalur pelayaran yang vital bagi perdagangan global. 

Kerja sama dalam pengelolaan sumber daya, menjaga keamanan navigasi, dan mempromosikan pembangunan berkelanjutan dapat menjadi landasan bagi stabilitas dan kemakmuran jangka panjang di kawasan.

Paparan di atas menegaskan bahwa insiden tabrakan antara kapal Filipina dan China semakin memperumit stabilitas keamanan di Laut China Selatan. Tumpang tindihnya klaim teritorial, tindakan agresif China, dan dinamika hubungan intra-ASEAN menciptakan situasi yang kompleks dan rentan terhadap eskalasi konflik. 

Namun, dengan upaya diplomatik yang intensif, koordinasi yang erat antara negara-negara yang terlibat, dan dukungan masyarakat internasional, masih ada harapan untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan. 

Hanya dengan komitmen bersama dan semangat saling pengertian, kita dapat mencegah LCS menjadi arena konflik yang membahayakan keamanan dan kemakmuran regional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun