Laut China Selatan merupakan salah satu kawasan paling strategis dan sarat konflik di dunia. Sengketa wilayah yang melibatkan beberapa negara di sekitarnya, seperti China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam, telah berlangsung selama beberapa dekade.Â
Akar permasalahan konflik ini bersifat multidimensi, mulai dari aspek historis, hukum internasional, geopolitik, hingga sumber daya alam. Bagi Indonesia, meskipun secara resmi bukan negara penuntut (non-claimant state), dinamika konflik Laut China Selatan memiliki implikasi signifikan bagi kepentingan dan kedaulatan nasionalnya.
Akar Masalah
Salah satu akar utama konflik Laut China Selatan adalah tumpang tindihnya klaim wilayah oleh negara-negara di sekitarnya. China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan berdasarkan "nine-dash line" yang merujuk pada peta dari masa Republik Tiongkok tahun 1947 (Schofield, 2016).Â
Sementara itu, negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei mendasarkan klaim mereka pada Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS), terutama menyangkut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil laut dari garis pangkal (Kusumaningtyas, 2018).
Selain aspek hukum, faktor geopolitik juga memainkan peran krusial. Laut China Selatan merupakan jalur pelayaran internasional yang vital, di mana sekitar sepertiga perdagangan maritim global melewatinya. Kawasan ini juga diperkirakan menyimpan cadangan minyak bumi dan gas alam yang melimpah.Â
Menurut laporan U.S. Energy Information Administration (EIA), Laut China Selatan mengandung sekitar 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam (EIA, 2013). Kepentingan strategis ini menjadikan Laut China Selatan sebagai arena persaingan geopolitik antara negara-negara regional maupun kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat.
Dinamika Konflik dan Tantangan Penyelesaian
Dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan di Laut China Selatan semakin meningkat seiring dengan agresivitas China dalam mengubah status quo. China secara masif melakukan reklamasi dan pembangunan pangkalan militer di pulau-pulau yang disengketakan, seperti di Kepulauan Spratly dan Paracel.Â
Laporan Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI) mencatat bahwa China telah membangun infrastruktur militer di tujuh titik di Laut China Selatan, lengkap dengan landasan pacu, pelabuhan, dan fasilitas radar (AMTI, 2020).