Konflik Israel-Palestina telah berlangsung selama beberapa dekade dan menjadi salah satu isu paling kompleks dalam hubungan internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memang telah berupaya untuk menyelesaikan konflik ini, tetapi konflik itu tampaknya terlalu rumit.
Niatan itu seringkali terkendala oleh veto yang digunakan oleh anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, terutama Amerika Serikat (AS). Pada 18 April 2024, AS sekali lagi menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan PBB untuk menolak permohonan Palestina untuk keanggotaan penuh di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Yang paling menarik adalah veto AS telah menggugurkan suara 12 negara yang menyetujui Palestina menjadi anggota PBB. Dua negara lainnya abstain.Â
PBB, khususnya DK PBB, secara jelas tidak berkutik dengan veto AS itu. Negeri Paman Sam telah menggunakan hak veto di DK PBB untuk membatalkan resolusi yang mendukung Palestina sebanyak 44 kali sejak tahun 1972 (Jewish Virtual Library, 2021).Â
Salah satu veto yang kontroversial terjadi pada tahun 2011, ketika AS memveto resolusi yang mengutuk pembangunan permukiman Israel di wilayah Palestina yang diduduki (Charbonneau, 2011). Veto ini menuai kecaman dari banyak negara anggota PBB dan dianggap melemahkan kredibilitas AS sebagai mediator dalam konflik Israel-Palestina.
Pada 19 April 2024, AS kembali menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan upaya Palestina menjadi anggota tetap PBB. Veto ini mengundang reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk Rusia yang menyatakan bahwa AS telah menunjukkan sikap sebenarnya terhadap Palestina. Indonesia juga menyesalkan keputusan AS, menilai veto tersebut mengkhianati aspirasi bersama untuk menciptakan perdamaian jangka panjang di Timur Tengah.
Legitimasi Internasional
Veto AS terhadap keanggotaan penuh Palestina di PBB berdampak signifikan pada legitimasi internasional Palestina. Status keanggotaan penuh di PBB akan memberikan Palestina kedudukan yang setara dengan negara-negara lain dalam komunitas internasional (Hasan, 2019).Â
Tanpa status ini, Palestina menghadapi hambatan dalam memperjuangkan hak-haknya di forum internasional. Selain itu, Palestina juga akan kesulitan dalam mengakses sumber daya yang diperlukan untuk membangun negara berdaulat dan berkelanjutan.
Pengakuan internasional terhadap Palestina sebagai negara anggota PBB sebenarnya bertujuan untuk memperkuat posisi Palestina dalam negosiasi dengan Israel. Dengan status yang setara, Palestina akan memiliki daya tawar yang lebih kuat dalam memperjuangkan kepentingannya, termasuk dalam isu-isu krusial seperti batas negara, pemukiman, dan hak pengungsi.