Kawasan Laut China Selatan (LCS) telah lama menjadi salah satu titik panas geopolitik paling sensitif di dunia. Insiden terbaru antara kapal-kapal Filipina dan China yang saling mengklaim perairan sengketa itu sekali lagi mencoreng stabilitas maritim di wilayah strategis tersebut.Â
Eskalasi ketegangan ini mengingatkan pentingnya menjaga keamanan dan keselamatan navigasi di Laut China Selatan bagi seluruh pemangku kepentingan regional dan global. Insiden seperti ini tidak hanya mengkhawatirkan bagi Filipina dan China, tetapi juga bagi seluruh pengguna Laut China Selatan karena berpotensi menyebabkan salah perhitungan yang bisa memicu konflik terbuka (Storey, 2021).Â
Dengan hampir sepertiga perdagangan dunia melalui perairan ini, gangguan terhadap lalu lintas maritim dapat memicu gejolak ekonomi global. Apalagi perairan di Laut China Selatan berstatus perairan internasional.
Filipina dan China sering terlibat dalam sengketa panjang atas wilayah maritim di Laut China Selatan. Meskipun Mahkamah Arbitrase Internasional tahun 2016 membatalkan sebagian besar klaim maritim Beijing, China terus mempertahankan pendudukannya di banyak pulau terluar melalui upaya militerisasi.Â
Aksi terbaru China menembakkan meriam air ke kapal-kapal Filipina dikecam Manila sebagai pelanggaran Convention on the International Regulations for Preventing Collisions at Sea (COLREGS) (CNN Indonesia, 2024).
Insiden maritim seperti ini menunjukkan betapa retorika klaim kedaulatan tetap tidak terkendali di Laut China Selatan. Pembangunan kepercayaan dan pengendalian risiko tetap penting untuk mencegah insiden kecil berubah menjadi krisis skala besar.Â
Namun kenyataan menunjukkan tidak adanya otoritas yang mengatur perairan di kawasan itu. Walaupun hukum internasional berlaku, klaim pemerintah China atas kawasan itu kurang mendapat perhatian otoritas maritim internasional.
Penegakan hukumÂ
Menjamin perdamaian dan stabilitas keamanan maritim Laut China Selatan sangat penting dalam konteks penegakan hukum laut. Tanpa penegakan yang efektif, aturan-aturan maritim seperti UNCLOS 1982 akan kehilangan relevansinya di Laut China Selatan (Oegroseno, 2021). Hal ini membahayakan prinsip-prinsip seperti pelayaran bebas yang menjadi kepentingan semua negara pantai dan pengguna perairan itu.Â
Untuk mengurai ketegangan dan memastikan keamanan maritim, ASEAN dan mitra-mitranya seperti AS, Australia, Jepang, dan Uni Eropa telah mendorong upaya mengikat hukum melalui finalisasi Code of Conduct (COC) untuk Laut China Selatan. COC yang komprehensif dan mengikat akan memberi pedoman jelas dan mencegah eskalasi insiden (Tang, 2022).