Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tantangan Geopolitik dalam Kebijakan Pertahanan Indonesia

3 April 2024   12:10 Diperbarui: 4 April 2024   09:23 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto harapkan perkembangan kerja sama dengan China di masa depan termasuk menjaga stabilitas dan keamanan kawasan, Senin (1/4/2024) di Beijing. Foto: DOK BIRO HUMAS KEMHAN via KOMPAS.id

Kunjungan Menteri Pertahanan (Menhan) dan Presiden terpilih Prabowo Subianto ke China dan Jepang pada 3 hari ini (31 Maret-2 April) tampaknya memberi sinyal pentingnya isu pertahanan dalam pemerintahannya mulai 20 Oktober 2024. Kunjungan itu merupakan pertama kalinya sebagai presiden terpilih, sehingga menimbulkan interpretasi tertentu bagi rivalitas antara China dan Jepang di kawasan Indo-Pasifik, khususnya Laut China Utara.

Terpilihnya Prabowo sebagai Presiden Indonesia untuk lima tahun ke depan sepertinya kontekstual dengan tantangan geopolitik di kawasan ini. Tantangan itu dipastikan memberikan ancaman potensial bagi pertahanan Indonesia. 

Kondisi geografis kepulauan yang rentan dan letak strategis di jalur perdagangan global menuntut Indonesia memiliki kebijakan pertahanan yang kuat, baik darat, laut maupun udara.

Menurut Cohen (2003), geopolitik adalah studi mengenai pengaruh faktor geografis terhadap politik dan kebijakan luar negeri suatu negara. Faktor geopolitik menjadi penting karena kondisi geografis dan lingkungan strategis suatu negara sangat memengaruhi kebijakan pertahanannya dalam menghadapi dinamika regional maupun global (Gray & Sloan, 1999). 

Dengan tantangan itu, Indonesia diperkirakan akan memperkuat kebijakan pertahanannya pada periode 2024-2029. Apalagi Presiden terpilih Prabowo Subianto memiliki latar belakang militer yang sangat kental, sehingga kebijakan pertahanan bakal menjadi fokus pemerintahannya.

Dilema

Meskipun demikian, tantangan geopolitik kawasan menempatkan Indonesia pada posisi dilematis, yaitu menjaga hubungan baik dengan berbagai kekuatan atau harus memihak pada salah satu blok. Tantangan utama datang dari sengketa Laut China Selatan akibat ekspansi Tiongkok yang makin agresif di kawasan. 

Sengketa ini berpotensi menjadi ancaman militer bagi wilayah Indonesia, seperti Laut Natuna Utara. Potensi konflik itu berkaitan dengan klaim sepihak beijing atas wilayah perairan yang tumpang-tindih.

Tantangan geopolitik lainnya muncul dari stabilitas kawasan Pasifik Barat akibat persaingan strategis AS-Tiongkok. Ketegangan antar kekuatan besar ini menempatkan Indonesia pada posisi sulit. Apalagi dengan keberadaan konflik laten lainnya, seperti Korea Utara dan ketidakpastian kawasan Asia Selatan pasca mundurnya AS dari Afghanistan. 

Beberapa tantangan itu menempatkan soal pembangunan pertahanan Indonesia sebagai isu strategis dalam lima tahun ke depan.

Belum Optimal

Di tengah situasi kawasan yang rawan konflik dan penuh ketidakpastian ini, kebijakan pertahanan Indonesia saat ini dapat dianggap belum optimal. Postur pertahanan secara umum masih bergantung pada peralatan impor dan belum didukung industri pertahanan domestik yang kuat. 

Doktrin dan strategi TNI juga lebih bersifat konvensional, padahal ancaman keamanan makin non-konvensional. Beberapa faktor ini menjadi pertimbangan. Pertama, postur pertahanan Indonesia masih sangat bergantung pada peralatan impor. 

Konon, lebih dari 75% alutsista Indonesia dipasok dari luar negeri. Akibatnya, ketergantungan impor ini rentan terhadap embargo. Selain itu, ada kesulitan melakukan  modernisasi alutsista secara cepat karena mahal dan prosedur birokrasi yang rumit.

Kedua, kebijakan pertahanan belum didukung oleh industri pertahanan dalam negeri yang kuat. Kontribusi industri pertahanan Indonesia diprediksi baru sekitar 20% dari total kebutuhan alutsista TNI dan Polri. Padahal, industri dalam negeri sangat penting untuk mendukung kedaulatan pertahanan.

Faktor ketiga adalah doktrin dan strategi TNI dinilai masih bersifat konvensional padahal ancaman keamanan kini lebih non-konvensional, seperti terorisme, peretasan siber, pandemi, dan bencana alam. Upaya peningkatan kemampuan militer dalam penanganan ancaman non-konvensional masih diperlukan.

Dengan demikian, pemerintah perlu terus melakukan evaluasi dan penyempurnaan kebijakan pertahanan agar lebih efektif dan optimal dalam menghadapi dinamika tantangan pertahanan dan keamanan, baik yang bersifat konvensional maupun non-konvensional.

Pro-aktif

Menurut Buku Putih Pertahanan TNI (2015), tantangan ke depan mendorong perlunya peningkatan kemampuan militer melalui modernisasi alutsista dan sumber daya pertahanan lainnya. Peningkatan anggaran pertahanan mutlak dilakukan mengingat postur pertahanan saat ini masih tertinggal dibanding negara tetangga.

Selain itu, percepatan modernisasi alutsista juga penting melalui kerja sama industri strategis dan alih teknologi dari luar negeri. Kolaborasi strategis dengan mitra global dan transfer teknologi merupakan keniscayaan bagi Indonesia untuk memperkuat industri pertahanan dalam negeri.

Performa pertahanan Indonesia di antara negara-negara ASEAN bisa dikatakan moderat. Menurut Laksmana (2018), meski total pengeluaran pertahanaan Indonesia tertinggi di ASEAN, tetapi jika dibandingkan dengan GDP masih kalah dari Singapura dan Vietnam. Sedangkan dari sisi kualitas dan modernisasi alutsista, Indonesia juga masih tertinggal dibanding Singapura.

Meski anggaran pertahanan Indonesia secara kuantitas terbesar di ASEAN, tetapi belum didukung oleh industri dan inovasi teknologi pertahanan yang memadai. Berbeda dengan Singapura dan Malaysia yang telah lama mengembangkan industri pertahanan canggih.

Secara geografis, Indonesia sebenarnya memiliki potensi menjadi kekuatan pertahanan terdepan di ASEAN mengingat posisi strategisnya. Namun potential power ini belum diimbangi dengan capaian actual power, terutama jika dibandingkan negara lain, seperti Singapura. Oleh karena itu, peningkatan kualitas postur dan industri pertahanan nasional masih menjadi pekerjaan rumah Indonesia ke depan.

Dengan kondisi itu, pemerintahan baru 2024-2029 perlu lebih proaktif memperkuat pertahanan dengan meningkatkan kemampuan militer guna menjaga kedaulatan wilayah. Dengan langkah-langkah proaktif tersebut, diharapkan kemampuan pertahanan Indonesia dapat meningkat signifikan pada 2024-2029. 

Langkah-langkah itu diyakini memperkuat posisi tawar geopolitik dan geostrategis Indonesia di tengah tantangan dinamika kawasan yang semakin kompleks. Berbagai faktor di atas sangat penting demi melindungi kepentingan nasional di tengah geopolitik kawasan yang penuh ketidakpastian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun