Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Urgensi Penguatan Hubungan Indonesia-AS dalam Dinamika Geopolitik Indo-Pasifik

30 Maret 2024   20:32 Diperbarui: 31 Maret 2024   09:10 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dinamika Geopolitik Indo-Pasifik

Realisme Struktural atau neorealisme, yang dikembangkan Kenneth Waltz, berfokus pada struktur sistem internasional yang anarki dan distribusi kekuasaan di antara negara-negara. Menurut Waltz (1979), "dalam sistem internasional yang anarkis, keamanan adalah tujuan utama negara-negara, dan kekuatan adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut." 

Dalam konteks Indo-Pasifik, persaingan antara AS dan China dapat dipahami sebagai upaya kedua negara untuk memaksimalkan keamanan dan pengaruh mereka di kawasan. AS dan China berbaku kekuatan untuk menguji respon negara-negara di kawasan Indo-Pasifik, termasuk Indonesia.

Berbeda dengan Realisme Klasik yang berfokus pada sifat manusia dan Realisme Neoklasik yang mempertimbangkan faktor-faktor domestik, Realisme Struktural menekankan struktur sistem internasional sebagai penentu utama perilaku negara. Seperti diungkapkan John Mearsheimer (2001), "Realisme Struktural berpendapat bahwa struktur sistem internasional memaksa negara-negara untuk mengejar kekuasaan dan mempengaruhi perilaku mereka dengan cara yang signifikan."

Dalam dinamika geopolitik Indo-Pasifik yang diwarnai persaingan AS-China, Indonesia perlu memperkuat hubungannya dengan AS sebagai upaya menyeimbangkan kekuatan dan menjaga stabilitas kawasan. AS, sebagai kekuatan hegemon global, memiliki kepentingan strategis dalam menjaga keseimbangan kekuatan dan mencegah dominasi China di Indo-Pasifik. 

Dengan memperkuat hubungan dengan AS, Indonesia dapat meningkatkan posisi tawarnya dan mengurangi risiko tekanan atau ancaman dari kekuatan-kekuatan besar lainnya. Seperti negara-negara lain di kawasan Indo-Pasifik, kedekatan ekonomi mereka dengan China ternyata tidak mengurangi tekanan militer China kepada mereka.

Kesepakatan pembangunan ekonomi dalam kerangka Belt and Road Initiative (BRI) ternyata menghasilkan insentif jaminan keamanan China terhadap negara-negara itu. Kondisi ini sangat berbeda dengan kedekatan Indonesia, misalnya, dengan AS di jaman Presiden Suharto. 

Akibatnya, provokasi militer China di wilayah ZER di Laut Natuna Utara masih berlangsung. Bahkan insiden konflik maritim berlangsung secara nyata antara militer China dengan Filipina di Laut Chia Selatan. 

Kondisi ketidakpastian itu bisa menjadi pertimbangan penguatan hubungan Indonesia-AS, baik dalam kerja sama ekonomi dan keamanan. Seperti yang diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, Indonesia adalah mitra strategis bagi Amerika Serikat dalam mempromosikan stabilitas, kemakmuran, dan keamanan di Indo-Pasifik. 

Kerja sama antara kedua negara dapat mencakup peningkatan perdagangan dan investasi, penguatan kapasitas pertahanan, serta kolaborasi dalam mengatasi tantangan keamanan non-tradisional seperti perubahan iklim dan pandemik.

Kebijakan Luar Negeri
Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia telah menerapkan kebijakan luar negeri yang pragmatis dan strategis dalam menghadapi dinamika geopolitik Indo-Pasifik. Salah satu langkah penting yang diambil adalah peningkatan status kemitraan Indonesia-AS menjadi kemitraan strategis pada tahun 2015. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun