Kedua, menjamin stabilitas dan keamanan dalam negeri. Risiko kerusuhan atau ancaman terorisme dapat menjadi penghalang bagi artis mancanegara untuk tampil. Pemerintah perlu meyakinkan dunia bahwa Indonesia adalah negara yang aman dan kondusif untuk menggelar acara berskala besar.
Ketiga, menyederhanakan proses birokrasi dan perizinan untuk acara seni dan budaya internasional. Prosedur yang rumit dan pungutan liar kerap menjadi keluhan para promotor. Pemerintah perlu menciptakan sistem yang lebih efisien, transparan, dan ramah investasi.
Keempat, memperkuat promosi dan diplomasi budaya Indonesia di luar negeri, khususnya di kalangan industri musik global. Hal ini dapat dilakukan melalui kerja sama dengan asosiasi musik internasional, partisipasi dalam pameran dan festival musik dunia.
Pemerintah dapat merangkul diaspora Indonesia di luar negeri sebagai duta budaya. Networking diaspora Indonesia juga dapat berkontribusi positif.
Kelima, mengembangkan ekosistem musik domestik yang lebih kuat dan dinamis. Kehadiran musisi dan grup musik Indonesia yang mendunia, seperti Anggun, Afgan, Dewa 19, dan grup-grup musik lainnya. Ini sebenarnya menunjukkan bahwa industri musik Indonesia memiliki potensi besar.
Menonton obrolan podcast Vincent dan Desta (Vindes) dengan promotor musik Adrie Subono segera menyingkapkan kenyataan bahwa Indonesia sebenarnya tidak kalah dengan Singapura untuk mendatangkan artis-artis kondang dunia. Melalui perusahaan Java Musikindo, Adrie pernah mendatangkan Shah Rukh Khan, Owl City, Maroon 5, Sara Berelies, Bruno Mars, Flo rida, Kelly Clarkson, Saosin, Boys Like Girls, Aveged Sevenfold, Panic at The Disco, Simple Plan, dan lain-lain.
Ingatan saya juga akan melayang ke sosok bernama Peter F. Gontha. Pengusaha dan mantan Duta Besar ini sudah berpengalaman bertahun-tahun menyelenggarakan Java Jazz Festival. Berbagai artis-musisi dan grup jazz berdatangan ke Indonesia, Â seperti Al Jarreau, Dave Kozz, atau Jason Mraz.
Sebenarnya, Indonesia tidak perlu berkecil hati, apalagi iri dengan Singapura untuk soal konser-konseran ini. Walaupun kenyataannya, kontrak eksklusif itu memang membuat banyak pihak di beberapa negara marah.
Yang penting adalah pemerintah perlu mendukung pertumbuhan industri ini melalui regulasi yang kondusif, perlindungan hak cipta, dan fasilitasi ekspansi ke pasar global. Indonesia juga perlu bijak dalam memilih mitra dan acara yang sejalan dengan nilai-nilai dan kepentingan nasional.
Seperti dicatat oleh Ang et al. (2015), efektivitas diplomasi budaya juga bergantung pada keselarasan antara citra yang ingin diproyeksikan dengan realitas di lapangan. Konser musik yang sarat pesan perdamaian dan keberagaman, misalnya, akan lebih efektif bagi Indonesia yang mendukung nilai-nilai tersebut ketimbang bernuansa komersial semata.
Konser Taylor Swift di Singapura memang dapat menjadi contoh bagaimana negara kecil dapat secara strategis menggunakan acara hiburan sebagai alat diplomasi budaya untuk meningkatkan citranya di kawasan dan dunia. Indonesia, dengan segala potensi yang dimilikinya, sesungguhnya dapat melakukan hal serupa atau bahkan lebih baik.