Debat calon presiden (capres) ketiga telah selesai, namun masih meninggalkan pertanyaan besar mengenai bagaimana ketiga capres menggagas perekonomian atau sistem ekonomi Indonesia dalam lima tahun ke depan. Pertanyaan ini tampaknya mudah dijawab, namun bakal sulit dijalankan.Â
Apalagi gelombang liberalisasi pada saat ini seolah tidak bisa dibendung oleh berbagai negara. Sistem ekonomi liberal telah menjadi solusi satu-satunya bagi pembangunan ekonomi di sebuah negara.Â
Ketika pelaksanaan liberalisasi ekonomi di sebuah negara tidak sesuai dengan praktek di berbagai negara-negara Barat, maka negara itu seperti 'dihukum' melalui krisis ekonomi. seperti yang dialami oleh pemerintahan Suharto.Â
Melalui tulisan ini, praktek liberalisasi ekonomi diulas dengan melihat asal-usul, perkembangan, kebijakan-kebijakan ekonomi liberal, dan salah kelola ekonomi yang berujung di krisis ekonomi 1997 dan perubahan politik 1998.
Rezim Orde Baru di bawah komando Presiden Suharto menuju liberalisasi ekonomi pasca 1966, setelah Indonesia mengalami krisis parah akibat kegagalan model ekonomi sosialis Orde Lama. Menurut Pauker (1969), krisis hiperinflasi dan stagnasi sektor industri memaksa Suharto menempuh pendekatan pragmatis dengan membuka pintu bagi investasi asing.
Perkembangan awal
Liberalisasi ekonomi pada masa Orde Baru tidak terlepas dari warisan krisis ekonomi parah pada akhir pemerintahan Soekarno. Inflasi tak terkendali di atas 500% serta stagflasi sektor industri memaksa Suharto mencari solusi alternatif dengan orientasi pasar yang lebih pragmatis.
Pada awalnya, pemerintah melanjutkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang ditinggalkan pengelola kolonial pasca kemerdekaan. Namun Bresnan (1993) mencatat, "kepemilikan negara ini kemudian menjadi basis bagi ekspansi konglomerat-konglomerat besar milik pengusaha etnis Tionghoa yang dekat dengan Suharto selama 1970-1980an."Â
Meskipun begitu, krisis ekonomi parah pada akhir pemerintahan Soekarno telah memaksa pemerintahan baru mencari solusi alternatif. Salah satu solusinya adalah menarik investasi asing untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan ekspor.
Selain itu, MacIntyre (1991) mencatat bahwa rezim Orde Baru memberikan insentif investasi yang selektif dan diskriminatif untuk mendukung para kroni. Kebijakan semacam ini menjadi salah satu faktor pendukung berkembangnya konglomerat di masa pemerintahan Presiden Suharto.