Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pengaruh Populisme Jokowi terhadap Kebijakan Luar Negeri Indonesia

31 Januari 2024   17:10 Diperbarui: 1 Februari 2024   07:19 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi saat bicara di Forum G20 yang digelar 16 November 2022 di Nusa Dua Bali. (ANTARA FOTO/Media Center G20 Indonesia/Zabur Karuru/aww.)

Dalam beberapa tahun terakhir, topik mengenai pengaruh populisme terhadap kebijakan luar negeri suatu negara menjadi perdebatan menarik. Kemunculan sejumlah pemimpin dengan gaya populis di berbagai negara mendorong para ahli untuk menganalisis dampaknya terhadap cara pandang dan keputusan politik luar negeri negara tersebut. 

Beberapa pemimpin populis global yang kerap diangkat dalam kajian ini, antara lain, Donald Trump di Amerika Serikat, Rodrigo Duterte di Filipina, Narendra Modi di India, serta Jair Bolsonaro di Brasil.

Di Indonesia, wacana serupa pun marak berkembang terkait dugaan pengaruh populisme terhadap kebijakan luar negeri di bawah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi). 

Sejak terpilih sebagai presiden pada 2014 silam, gaya kepemimpinan Jokowi yang dianggap populis oleh sejumlah kalangan kerap dikritik turut membentuk cara pandang dan penekanan isu-isu tertentu dalam politik luar negeri Indonesia.

Tulisan ini akan mendiskusikan lebih jauh dugaan pengaruh populisme Jokowi tersebut terhadap diplomasi Indonesia selama dua periode kepresidenannya. 

Analisis difokuskan pada sejauh mana watak populis Jokowi diyakini telah memengaruhi perumusan strategi besar kebijakan luar negeri, penentuan prioritas isu, hingga gaya diplomasi Indonesia di kancah regional dan global.

liputan6.com
liputan6.com

Kebijakan Luar Negeri Populis
Pengaruh populisme terhadap diplomasi dan kebijakan luar negeri suatu negara merupakan kajian menarik dalam studi Hubungan Internasional kontemporer. Sejumlah penelitian berupaya menganalisis bagaimana ideologi dan gaya kepemimpinan populis seorang pemimpin berdampak terhadap politik luar negeri yang dijalankan.

Menurut McMahon & Baker (2019), populisme cenderung mendorong negara menjalankan kebijakan luar negeri yang lebih unilateral, protectionist, serta mengutamakan kepentingan nasional sempit. 

Populisme juga membuat diplomasi bilateral menjadi kurang kooperatif karena obsesi pemimpin populis terhadap capaian spektakuler demi kepentingan domestik jangka pendek (Rathbun, 2020).

Sementara Plagemann & Destradi (2019) menemukan bahwa tingkat agresivitas populisme seorang pemimpin berpengaruh signifikan terhadap seberapa destruktif kebijakan luar negeri yang diambil. Semakin tinggi tingkat populisme dan provokatif bahasa yang digunakan, semakin konfrontatif dan merusak hubungan internasional suatu negara.

Meski demikian, dampak populisme terhadap kebijakan luar negeri bergantung pada faktor-faktor domestik seperti desain institusional politik luar negeri suatu negara (Oppermann & Spencer, 2019). 

Di negara dengan checks and balances antar cabang kekuasaan yang kuat seperti Amerika Serikat, kecenderungan unilateralis dan destruktif akibat populisme pemimpin eksekutif bisa diimbangi dengan peran Kongres atau aktor-aktor diplomatik profesional lainnya.

Dengan demikian, memahami konteks domestik suatu negara penting untuk bisa memprediksi seberapa signifikan pengaruh ideologi populis pemimpinnya terhadap kebijakan luar negeri yang diambil.

Diplomasi Populis
Sejak terpilih menjadi presiden pada 2014, populisme Jokowi kerap dikaitkan dengan perubahan arah kebijakan luar negeri Indonesia.

Menurut Anwar (2019), watak populis dan kecenderungan pragmatis Jokowi turut memengaruhi keputusan-keputusan strategis hubungan luar negeri Indonesia. 

Terdapat dua konsep utama kebijakan luar negeri era Jokowi yang merepresentasikan pengaruh populisme, yakni konsep 'poros maritim' dan prioritas diplomasi ekonomi.

Pertama, konsep poros maritim merupakan penekanan baru pada isu-isu kelautan dan kedaulatan maritim Indonesia. Konsep ini terkait agenda domestik populis Jokowi dalam membangun konektivitas dan infrastruktur di kawasan timur Indonesia (Arsana & Sutisna, 2018). 

Sebagai negara kepulauan, wacana maritim juga sangat dekat dengan psyche mayoritas rakyat Indonesia sehingga dianggap paling efektif dalam meningkatkan popularitas domestik Jokowi.

Kedua adalah politik luar negeri yang mengedepankan diplomasi ekonomi dengan fokus menarik investasi asing demi pembangunan infrastruktur dalam negeri dan menopang pertumbuhan ekonomi tinggi. 

Strategi ini merupakan derivasi dari agenda populer Jokowi dalam membangun infrastruktur dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia (Laksmana, 2019). 

Melalui prioritas diplomasi ekonomi, Jokowi berharap bisa meraih quick wins yang bernilai besar, baik bagi rakyat Indonesia maupun kepentingan politiknya sendiri.

Contoh lainnya adalah penekanan pada isu poros maritim dan kedaulatan Indonesia di Laut Cina Selatan melalui konsep Global Maritime Fulcrum. Isu ini dipandang sangat dekat dengan psikologi publik Indonesia sebagai negara kepulauan sekaligus berpotensi meningkatkan popularitas domestik Jokowi. Karena itu, isu ini kemudian menjadi salah satu poros utama diplomasi Indonesia di kawasan.

Keputusan kontroversial Indonesia mengajukan diri sebagai tuan rumah penyelenggaraan Asian Games 2018 juga diyakini didorong oleh kepentingan citra dan popularitas domestik Jokowi ketimbang pertimbangan substansi dan kelayakan secara ekonomis maupun teknis. 

Secara umum, pengaruh utama populisme Jokowi terhadap diplomasi Indonesia adalah membentuk preferensi kebijakan luar negeri yang lebih pragmatis dengan orientasi domestik yang kuat. 

Artinya, pertimbangan popularitas di kalangan konstituen internal sering kali menjadi faktor penting yang turut memengaruhi arah keputusan strategis hubungan luar negeri di bawah kepemimpinan Jokowi.

Kepentingan domestik dan citra populis yang ingin dibangun Jokowi turut memengaruhi gaya diplomasi serta penekanan isu-isu strategis tertentu dalam kebijakan luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinannya. 

Pengaruh populisme terhadap diplomasi sebuah negara dapat bersifat positif maupun negatif. Penting untuk memahami konsekuensi dari kedua sisi dan mencari cara untuk memaksimalkan dampak positifnya sambil meminimalkan dampak negatifnya. 

Diplomasi yang efektif di era populisme membutuhkan kepemimpinan yang cerdas dan terampil dalam mengelola sentimen publik dan membangun hubungan internasional yang konstruktif. 

Dalam konteks Indonesia, pengaruh populisme Jokowi terhadap diplomasi Indonesia cenderung bersifat inkremental dan terbatas pada isu-isu tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun