Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Hilirisasi Nikel di Tengah Pusaran Sistem Ekonomi Liberal

26 Januari 2024   13:27 Diperbarui: 31 Januari 2024   08:03 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pekerja memeriksa produk feronikel hasil pengolahan bijih nikel di pabrik PT Aneka Tambang (Antam) di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, Mei 2011. (KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG)

Salah satu isu penting yang sering disinggung dalam debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden 2024 adalah isu hilirisasi sumber daya alam (SDA), khususnya nikel. Perdebatan bahkan malah berkepanjangan di luar forum-forum capres dan cawapres itu sendiri.

Kontroversi terakhir adalah baku pendapat antara Thomas Lembong dan Luhut B. Panjaitan. Mereka berdua sebenarnya termasuk All-President's Men. 

Bedanya, Thomas adalah Menteri Perdagangan Indonesia, 12 Agustus 2015 hingga 27 Juli 2016 dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), 27 Juli 2016 hingga 23 Oktober 2019. Lalu, Luhut sedang menjabat Menteri Koordinator di bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves).

Sejak memimpin negeri ini pada 2014 silam, Presiden Joko Widodo memang gencar mendorong industrialisasi berbasis sumber daya alam (SDA) melalui hilirisasi sejumlah komoditas strategis. Salah satu yang menjadi fokus utama adalah logam nikel, di tengah ambisi Indonesia menjadi produsen baterai kendaraan listrik terbesar di dunia.  

Kebijakan hilirisasi nikel ini bahkan sudah mendapat protes dari Uni Eropa (UE). Protes itu menambah persoalan antara Indonesia dan UE yang sudah ribut soal larangan ekspor kelapa sawit.

Dok REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana
Dok REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana

Nasionalisme ekonomi
Perdebatan antara Tom Lembong dan Luhut dapat dianggap sebagai representasi dua spektrum besar yang berlawanan dalam paradigma ekonomi. Kebetulan memang Tom berada di belakang capres Anies Baswedan dan Luhut sebagai menteri senior di pemerintahan Jokowi sekarang.

Namun demikian, keributan mereka tak pelak memunculkan lagi isu lama, yaitu perseteruan nasionalisme dan liberalisasi ekonomi. Ketegangan ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam pembangunan ekonomi Indonesia. 

Namun, naiknya Jokowi menjadi Presiden sejak 2014 telah meningkatkan semangat nasionalisme itu di tengah gelombang ekonomj liberal di berbagai negara. Apalagi pemerintahan Jokowi dibangun dengan semangat kemandirian ekonomi.

Kemunculan kembali nasionalisme ekonomi dapat dilihat pada kebijakan hilirisasi SDA, termasuk nikel. Kebijakan ini pada intinya merupakan wujud konkret dari intervensi negara ke sektor-sektor strategis. 

Bagi pemerintahan Jokowi, sektor itu harus bernilai tambah tinggi dan dikuasai pemain dalam negeri. Dengan cara itu, surplus ekonomi yang dihasilkan diharapkan bisa dinikmati secara adil dan merata oleh seluruh rakyat Indonesia.

Melawan ekonomi liberal
Namun menariknya, berbagai kebijakan progresif terkait program hilirisasi nikel ini pada dasarnya justru bertentangan dengan sistem ekonomi liberal yang selama ini dianut Indonesia. 

Ini menunjukkan adanya political will yang kuat dari pemerintahan Jokowi untuk mengedepankan nasionalisme ekonomi, melalui penguatan industri dalam negeri yang mandiri dan berdaya saing global.

Sejumlah kebijakan seperti pelarangan ekspor bijih nikel mentah, penerapan vaksinasi produk turunan lokal, hingga pemberian insentif khusus yang diskriminatif terhadap investor asing merupakan bentuk kerangka non-liberal yang kontradiktif. 

Kebijakan semacam itu memang diperlukan untuk melindungi dan mempercepat proses tumbuh kembang industri hilir nikel dalam negeri yang masih relatif prematur.

Beberapa Contoh

Ada negara-negara di Asia yang pernah sukses menerapkan kebijakan hilirisasi sumber daya alam, termasuk nikel.

1. China, misalnya, membuat kebijakan-kebijakan agresif dalam hilirisasi terhadap semua sumber daya mineral penting. Untuk nikel, mereka kini menguasai rantai pasok baterai kendaraan listrik terbesar di dunia melalui perusahaan, seperti BYD.

2. Jepang juga telah sukses mengembangkan industri baja, mobil, dan sepeda motor berkat melakukan hilirisasi bijih besi dan nikel sejak dekade 1950-1960an. Sampai sekarang mereka adalah produsen baja, mobil, dan motor terkemuka di Asia.

3. Korea Selatan menjadi contoh lain dari yang mampu menjadi raksasa produsen chip, baterai, hingga kendaraan listrik. Capaian itu diperoleh setelah melakukan hilirisasi terhadap bahan galian semi-konduktor, dan logam nikel.

Ketiga negara itu menunjukkan kelebihan kebijakan hilirisasi, antara lain adalah meningkatkan nilai tambah komoditas SDA, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan impor produk turunan.

Sementara kelemahannya bisa berupa persaingan yang tidak sehat antar perusahaan (karena terlalu dilindungi), potensi korupsi penyaluran insentif, dan berisiko tinggu dimanfaatkan elit politik dan bisnis tertentu saja yang dekat dengan kekuasaan.

Namun demikian, kebijakan hilirisasi memberikan manfaat jangka panjang bagi transformasi ekonomi dan peningkatan kemakmuran sebuah negara dari sektor strategis seperti nikel, jika didesain dan diawasi dengan baik

Strategi Indonesia
Serupa dengan apa yang pernah sukses diterapkan China, Korea Selatan, dan Jepang puluhan tahun silam, kebijakan intervensionis ini diyakini bisa mengantar Indonesia menjadi pemain utama di rantai pasok teknologi strategis berbasis nikel seperti baterai lithium dan komponen kendaraan listrik masa depan. 

Kemampuan itu akan menjadikan Indonesia tidak sekadar menjual bijih mentah dengan nilai tambah rendah, seperti selama ini. Tentu saja, berbagai risiko besar mengiringi terobosan kebijakan yang kontra-arus dengan sistem liberalisasi ekonomi global tersebut. 

Risiko itu dapat diidentifikasi berasal dari luar, seperti ancaman hukuman dan gugatan dari mitra dagang utama, seperti China dan Korea Selatan di WTO. Selain itu, risiko domestik perlu diantisipasi terkait problem korupsi dan persaingan usaha tak sehat. 

Di tingkat domestik, hilirisasi juga diperkirakan memunculkan masalah rente atau konglomerat swasta besar pencari rente. Kelompok-kelompok ini bisa saja meraup keuntungan besar secara sepihak dari peluang bisnis mineral dan baterai strategis ini dengan dalih melaksanakan agenda hilirisasi pemerintah. 

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu mendesain sebuah grand strategy industrialisasi berbasis nikel yang holistik dan terukur. Strategi itu diperlukan oleh presiden terpilih 2024 nanti guna memitigasi risiko yang ada dan, sekaligus, memaksimalkan keuntungan jangka panjang program hilirisasi bagi transformasi perekonomian Indonesia secara inklusif dan berkelanjutan.  

Dengan mencontoh keberhasilan hilirisasi sumber daya mineral di sejumlah negara maju Asia terdahulu, Indonesia bisa membangun kemandirian teknologi dan industri berbasis nikel sembari menghindari jebakan sistem ekonomi liberal yang selama ini gagal membawa kemakmuran sejati bagi bangsa.

Melalui nasionalisme ekonomi berbasis keunggulan SDA lokal itu, Indonesia diyakini mampu mewujudkan kemandirian dan kedaulatan ekonomi sejati di abad 21 ini dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan keberlanjutan. 

Esensi nasionalisme ekonomi ala Indonesia ini yang sedang dipertontonkan pemerintahan Jokowi lewat gencarnya program strategis hilirisasi sumber daya alam, terutama nikel.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun