Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Indonesia sebagai Middle Power dalam Kerjasama Selatan-Selatan

12 Januari 2024   12:35 Diperbarui: 14 Januari 2024   01:58 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu pertanyaan dari panel ahli pada debat ketiga calon presiden (capres) di 7 Januari lalu adalah peran dan posisi Indonesia dalam Kerjasama Selatan-Selatan (KSS). Pertanyaan ini menarik karena masyarakat jarang mengetahui soal KSS itu.

Sebelum membahas isu ini lebih lanjut, pandangan ketiga calon presiden Indonesia 2024 mengenai posisi Indonesia dalam kerja sama Selatan-Selatan perlu disampaikan. Dengan cara ini, kita bisa menempatkan pandangan capres itu sebagai titik awal bahasan tentang Indonesia dan KSS.

Pandangan Capres

Pada debat ketiga itu, capres Anies Baswedan menyatakan bahwa Indonesia harus menjadi kekuatan utama dalam memperkuat solidaritas Selatan dan memimpin agenda pembangunan. 

Indonesia perlu meningkatkan peran dalam forum G20 untuk mewakili suara negara berkembang. Menurut Anies, KSS harus dioptimalkan untuk transformasi ekonomi yang berkeadilan.

Lalu, capres Ganjar Pranowo menjelaskan pentingnya Kerjasama Selatan-Selatan untuk memperkuat diplomasi ekonomi Indonesia. Indonesia perlu menjadi role model bagi negara berkembang dalam pembangunan berkelanjutan dan inklusif lewat program SDGs. Oleh karena itu, Ganjar mendorong kerja sama teknis dan investasi infrastruktur menjadi fokus utama untuk memperkuat hubungan Selatan-Selatan.

Sementara itu, capres Prabowo Subianto berpandangan Indonesia harus mengambil kepemimpinan regional Asia Tenggara dan menjadi kekuatan penting dalam G20. Melalui forum khusus kerjasama Selatan seperti D-8 dan Non-Aligned Movement (NAM) atau Gerakan Non-Blok(GNB), Indonesia harus menjaga kepentingan negara berkembang agar tidak dieksploitasi negara maju. Bagi Prabowo, tujuan KSS adalah meningkatkan kemandirian ekonomi sebagai prinsip utama KSS.

Ketiga capres tampaknya memahami apa dan bagaimana KSS, serta peran atau posisi Indonesia. Sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk terbesar keempat dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia kerap diagkat sebagai sebuah middle power dalam hubungan internasional kontemporer.

Middle Power dan KSS
Istilah middle power mengacu pada negara yang bukan termasuk great power dengan kekuatan material yang dominan, namun juga bukan negara lemah dan terbelakang. Dengan menggunakan istilah ini, Indonesia sudah mendefinisikan peran dan posisinya dalam KSS.

Melalui KSS, Indonesia berbagi pengalaman development dan best practices kepada sesama negara Selatan. Seiring dengan itu, Indonesia juga menginisiasi pembentukan koalisi dan sinergi di antara emerging powers. Tujuannya adalah melakukan reformasi tata kelola ekonomi politik global agar lebih adil dan inklusif bagi negara sedang berkembang.

KSS terus berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Volume perdagangan KSS meningkat, termasuk aliran investasi dan bantuan pembangunan antar negara berkembang. Forum dan lembaga KSS, antara lain BRICS, IBSA, dan NAM juga semakin solid.

Dibandungkan model-model kerjasama lainnya, kelebihan KSS adalah dianggap lebih setara, saling menguntungkan, tanpa kompromi kedaulatan, seperti kerjasama Utara-Selatan. Selain itu, KSS juga menggunakan prinsip solidaritas, gotong royong dan kepentingan bersama negara dunia ketiga.

Meski demikian, KSS juga memiliki kelemahan dalam koordinasi antar-negara. Akibatnya, KSS cenderung kurang optimal dalam mengatasi development problems bersama.

Kelemahan lainnya adalah sumber pembiayaan KSS juga terbatas. KSS sangat tergantung pada pendanaan dari negara yang lebih tinggi secara ekonomi.

Selama ini, peran Indonesia Indonesia aktif dalam KSS baik di tingkat bilateral, regional via ASEAN maupun global lewat G77 dan D-8. Indonesia menginisiasi program kerjasama teknik, pendidikan, dan bantuan lapangan bagi sesama negara Selatan.

Melalui peran-peran itu, Indonesia dianggap lebih tepat menempatkan diri sebagai middle power dalam diplomasi global. Peran, posisi, dan pengaruh Indonesia itu secara langsung menyanggah kritik dari salah satu capres bahwa Indonesia adalah penonton di panggung global.

Ketiga capres harus memahami peran Indonesia sebagai middle power. Negara middle power dicirikan dengan kemampuannya untuk menjadi mediator dan juru runding dalam konflik internasional, membangun koalisi dengan negara sekutu yang sehaluan, serta mengambil prakarsa dalam mengatasi masalah-masalah global.

Konsep middle power diplomacy sangat relevan untuk menganalisis dan sekaligus mendorong peran Indonesia sebagai kekuatan menengah yang progresif dan berpengaruh dalam berbagai kerjasama internasional, khususnya KSS.

Peran ini juga jauh dari tuduhan salah satu capres bahwa kebijakan luar negeri Indonesia bersifat transaksional. Melalui KSS, Indonesia menjalankan peran, posisi, dan pengaruhnya sebagai middle power. Prinsip solidaritas, kesetaraan, dan kemandirian menjadi nilai-nilai utama bagi KSS.

Aktivisme diplomasi middle power Indonesia bahkan bisa dirunut hingga masa pemerintahan Presiden Sukarno. Sejak Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan Presiden Soekarno menggelar Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, Indonesia telah menjadi pelopor GNB dan solidaritas negara-negara dunia ketiga.

Melalui berbagai forum dan institusi seperti Gerakan Non-Blok, D-8, IBSA, WTO, dan NAM, Indonesia secara konsisten memainkan peran kepemimpinannya sebagai juru bicara Global South.

Perspektif Global South memandang bahwa negara-negara berkembang di belahan Selatan memiliki sejarah dan pengalaman kolonialisasi serta eksploitasi ekonomi politik yang serupa oleh negara-negara utara. Solidaritas dan kerjasama di antara negara-negara Selatan menjadi penting untuk meningkatkan kemandirian, kedaulatan dan posisi tawar Global South terhadap dominasi negara maju di utara dalam institusi dan rezim internasional yang ada.

Dalam konteks lain, kepemimpinan Indonesia di ASEAN juga berpengaruh pada berbagai kerja sama dengan negara-negara mitra ASEAN dengan wilayah Asia Tenggara hingga Indo-Pasifik. Berbagai sektor kerja sama telah dilakukan, sehingga kebijakan luar negeri tidak hanya menjadi wilayah khusus kementerian luar negeri.

Hubungan Internasional pada saat ini bersifat lintas-sektor dan melibatkan berbagai kementerian di setiap negara di bawah koordinasi kementerian luar negeri. Peran itu memungkinkan Indonesia menyuarakan kepentingan kolektif negara berkembang. Tujuan akhirnya adalah menghindari dominasi negara utara serta reformasi global governance agar lebih adil bagi negara selatan.

Optimalisasi atau peningkatan peran dan posisi Indonesia dalam KSS tentu saja sangat diperlukan. Upaya yang lebih besar memang masih diperlukan untuk meningkatkan skala pendanaan dan koordinasi antar-institusi pelaksana di tiap-tiap negara. Dengan cara itu, middle power diplomacy Indonesia dapat dijalankan secara lebih optimal demi kemajuan dan kesejahteraan negara-negara selatan.

Sayangnya, debat ketiga capres 7 Januari 2024 lalu kurang dapat mengelaborasi pandangan para capres soal peran itu. Tugas strategis itu berada di tangan salah satu capres yang bakal terpilih sebagai presiden baru Indonesia.

KSS memerlukan kepemimpinan yang fokus dan konsisten agar Indonesia makin diakui sebagai emerging regional and global leader yang sukses memperjuangkan representasi dan aspirasi kolektif negara-negara Selatan di pentas dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun