Di samping itu, hubungan diplomatik dengan berbagai kekuatan global, seperti Amerika Serikat, Cina, dan negara-negara tetangga juga perlu terus dibina dengan bijak, tanpa harus condong ke salah satu blok.
Pengalaman kebijakan luar negeri Indonesia selama ini sangat ditentukan oleh pertimbangan pertahanan, keamanan, dan geopolitik. Kedekatan pemerintahan Sukarno kepada Uni Soviet (Rusia) dan China berkebalikan dengan orientasi pemerintahan Suharto terhadap AS.
Kemampuan Indonesia bersikap netral dan menjaga hubungan baik dengan semua pihak menjadi kunci Indonesia untuk memastikan dukungan politik dan militer manakala diperlukan. Netralitas kebijakan luar negeri Indonesia dapat dilihat pada pemerintahan paska-reformasi 1998, walau masih condong ke AS.
Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Â dan Joko "Jokowi" Widodo, pola kedekatan ke AS semakin berkurang dengan munculnya China melalui kebijakan Belt and Road Initiative (BRI).
Walaupun sering menjadi perdebatan, namun Indonesia tampaknya masih mendekat ke AS dalam kebijakan pertahanan-keamanan dan geopolitik. Sebaliknya, kedekatan Indonesia ke China lebih pada pertimbangan ekonomi atau geoekonomi.
Tantangan
Dengan menghitung kedua hal di atas, ada beberapa tantangan besar yang mungkin dihadapi calon presiden terpilih dalam 5 tahun mendatang. Tantangan eksternal, seperti perang dagang dan resesi ekonomi global yang berimbas ke berbagai sektor, termasuk industri pertahanan dalam negeri.
Krisis Taiwan dan semakin meningkatnya asertivitas Cina yang berpotensi memanas-manasi konflik di Laut Cina Utara dan Selatan. Kedua tantangan itu menjadi tantangan serius bagi ketiga capres.
Termasuk di dalamnya adalah pengaruh perang Rusia-Ukraina, berbagai krisis itu menghadirkan dilema bagi politik luar negeri Indonesia dalam tarikan persaingan kepentingan AS dan China atau Rusia di Indo-Pasifik, khususnya Asia Tenggara.
Isu-isu kemanusiaan juga meminta perhatian ketiga capres. Diplomasi kuasa lunak (soft power diplomacy) juga perlu mendapat perhatian dari ketiga capres 2024. Krisis kesehatan global, pangan, energi, bencana alam akibat perubahan iklim dan isu lainnya  menuntut kerjasama internasional.
Dengan beragam dinamika tersebut, figur presiden yang tegas, memiliki visi jauh ke depan, dan kemampuan diplomatik tinggi sangat dibutuhkan untuk memandu Indonesia melewati badai geopolitik dan geoekonomi di kawasan.