Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Strategi Indonesia di Tengah Persaingan AS-China dan Tantangannya bagi Tiga Capres 2024

29 Desember 2023   20:46 Diperbarui: 1 Januari 2024   08:20 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan (kanan), Prabowo Subianto (tengah), dan Ganjar Pranowo (kiri) berpegangan tangan usai beradu gagasan dalam debat perdana Capres dan Cawapres 2024 di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (12/12/2023). (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA)

Debat calon presiden (capres) kedua akan diadakan pada 7 Januari 2024. Memang masih lama, meskipun demikian ketiga capres perlu mempersiapkan diri untuk menyampaikan pandangan mereka mengenai tema pertahanan, keamanan, hubungan internasional, dan geopolitik. 

Sebuah tema berat ditambah kondisi internasional yang bakal berbeda ketimbang 10 tahun terakhir ini. Dari tema itu, salah satu isu mendasar adalah sikap dan strategi Indonesia terhadap persaingan kepentingan antara Amerika Serikat (AS)-China di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara.

Isu ini sangat strategis bagi Indonesia menjelang pergantian kepemimpinan pada pemilihan presiden (pilpres) 14 Februari 2024. Capres Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo perlu memberikan ketegasan posisi Indonesia terhadap dua kekuatan besar (major powers) itu ketika salah satu dari mereka terpilih menjadi presiden Indonesia.

Ketiga capres perlu melihat kembali pengalaman pemerintahan-pemerintahan sebelumnya sejak negeri ini merdeka 1945 hingga pemerintahan Joko "Jokowi" Widodo. Merunut kembali strategi-strategi pemerintahan sebelumnya dan mengambil pelajaran terbaik (best lesson) bagi pemerintahan baru mulai 20 Oktober 2024.

CNN Indonesia
CNN Indonesia

Strategi Sebelumnya

Sejak merdeka pada 1945, politik luar negeri Indonesia diarahkan untuk mengedepankan kepentingan nasional dan menghindari jebakan masuk ke kutub manapun. Melalui doktrin bebas-aktif, para pemimpin Indonesia berupaya menjaga hubungan baik sekaligus menjaga jarak yang cermat dengan berbagai kekuatan besar dunia.

Di bawah Presiden Sukarno, bebas-aktif diwujudkan lewat Konperensi Asia-Afrika 1955 dan gerakan Non-Blok. Sukarno berani mengkritik imperialisme Barat dan menjalin kerja sama strategis dengan Uni Soviet. Sujarno juga menjalin hubungan dekat dengan China menjelang kejatuhannya.

Di era Orde Baru, pemerintahan Presiden Suharto lebih condong ke Barat. Suharto menjalin hubungan baik dengan AS sekaligus negara Teluk dan Eropa Barat.

Memasuki abad 21, persaingan AS-China makin memanas. Dalam menghadapinya, Presiden Jokowi menerapkan banyak cara serupa yang dipakai para pendahulunya. Jokowi mengedepankan kepentingan nasional, sambil menjalin hubungan pragmatis dengan kedua negara adidaya.

Contohnya, terkait sengketa Laut China Selatan, Indonesia mengecam militarisasi China. Namun demikian, Indonesia sekaligus terus membangun kepercayaan dengan Beijing. Indonesia mengkritik pelanggaran HAM China di forum PBB, tapi menolak ikut menerapkan sanksi ekonomi atau memutus hubungan diplomatik.

Terhadap AS, Indonesia menjalankan kerja sama pertahanan dan investasi yang solid. Selain itu, Indonesia juga tak segan mengkritik kebijakan proteksionis dan unilateralis AS di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump. 

Bahkan ketika banyak negara mengkritik invasi Rusia ke Ukraina, Indonesia menolak tunduk pada tekanan Barat untuk menghukum Moskow. Indonesia juga mengabaikan tekanan AS dan negara-negara Eropa dengan tetap mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin ke KTT G20 pada 2022.

Dalam strategi jangka panjangnya, Jokowi lebih fokus pada upaya memperkuat Indonesia berdasarkan kepentingan nasional dalam hubungan internasionalnya. Presiden Jokowi meyakini urgensi landasan domestik yang kuat akan membuat Indonesia bisa bertindak lebih leluasa dan dihormati dalam percaturan global.

Tantangan bagi Capres

Visi serupa sebenarnya dipegang oleh ketiga calon pengganti Jokowi mulai dari Anies Baswedan, Prabowo Subianto, hingga Ganjar Pranowo. Ketiga capres sangat paham bahwa Indonesia harus kuat dulu dari dalam untuk bisa menjadi pemain penting dalam dinamika geopolitik global.

Anies, misalnya, menawarkan diplomasi keseimbangan dan win-win cooperation dengan berbagai kekuatan besar, tanpa harus memihak. Anies diyakini juga akan mengedepankan pembangunan SDM dan ekonomi digital untuk memperkuat Indonesia.

Sementara itu, Prabowo lebih memberikan prioritas pada kemandirian ekonomi dan industri pertahanan canggih agar Indonesia lebih disegani. Sedangkan, Ganjar cenderung mengedepankan transformasi ekonomi hijau berbasis digital untuk meningkatkan bargaining power RI.

Dalam menghadapi hegemoni dan intimidasi negara besar di masa depan, pemimpin Indonesia perlu mempertimbangkan strategi pendahulunya dalam memainkan kebijakan keseimbangan kekuatan (balance of power). 

Dengan berpijak pada prinsip bebas-aktif dan kepentingan nasional, Indonesia dapat menjaga hubungan baik dengan berbagai kekuatan tanpa kehilangan otonomi dan prinsipnya. 

Seperti pernyataan mantan Menteri Luar Negeri, Marty Natalega (2009), Indonesia tidak lagi mendayung di antara dua karang saja, tetapi banyak karang. Aktor dalam hubungan internasional tidak hanya negara, namun juga aktor-aktor non-negara, seperti perusahaan internasional/transnasional, organisasi internasional pemerintah dan non-pemerintah, dan aktor-aktor individu lainnya.

Ketiga capres tampaknya akan tetap meneruskan prinsip bebas-aktif dalam kebijakan luar negeri dengan beberapa perbedaan prioritas perhatian. Visi dan misi ketiga capres itu menegaskan keberlanjutan pelaksanaan prinsip itu. 

Debat kedua capres 7 Januari 2024 akan menjadi panggung strategis bagi ketiga capres untuk saling menguji visi dan orientasi politik luar negeri Indonesia versi mereka masing-masing.

Melalui strategi diplomasi dan kebijakan luar negeri pragmatis yang menempatkan kepentingan bangsa di atas segala-galanya, Indonesia dapat menjadi kekuatan penyeimbang yang tetap mengedepankan perdamaian di tengah gurun pasir konflik global yang gersang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun