Mempertimbangkan semangat jaman (zetgeit) ini, saya mengambil beberapa sikap. Pertama, UTS bukan satu-satunya cara mengevaluasi kemampuan mahasiswa. Kedua, UTS tidak bersifat take-home exam (dikerjakan di rumah), tetapi mahasiswa menjawab soal di kelas dalam waktu terbatas.Â
Ketiga, evaluasi perlu dilakukan dalam bentuk lisan melalui presentasi di kelas (bisa individu atau kelompok). Seperti di tulisan sebelumnya, evaluasi lebih ke pemahaman mahasiswa mengenai mengenai isu dalam bidang studi terkait dengan materi kuliah.
Selain ketiga jenis itu, evaluasi mahasiswa masih ada banyak lagi bentuknya, termasuk menulis dan presentasi tugas akhir. Intinya, sikap ini jauh dari rasa curiga atau, bahkan, berpikir negatif terhadap mahasiswa. Pada prakteknya, setiap dosen bisa berbeda menyikapi chatGPT. Kalaupun banyak mendukung atau tidak mempersoalkan chatGPT, Â praktek mereka dalan bentuk pertanyaan untuk ujian bisa tetap berbedaÂ
Hingga sekarang, kampus-kampus masih banyak yang diam. Ada beberapa gerundelan, tapi belum mengerucut pada kebijakan mengenai larangan atau dukungan pada chatGPT. Sedangkan, pemerintahan berencana memasang pagar mengakses chatGPT.Â
Hampir lupa dengan kopi di meja, saya seruput dulu. Segera saya edit dan upload ke Kompasiana.com menjadi tulisan ketiga di hari keempat bulan puasa 2023:) Terimakasih telah berkenan membaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H