Pada puasa kedua di 2023 yang jatuh di hari Jumat, kampus ternyata ramai. Di kampus saya, eh, bukan....di kampus tempat saya bekerja, hari Jumat kemarin kebetulan termasuk minggu terakhir kuliah sebelum ujian tengah semester (UTS) begitu kata kata yang dilansir dari fokusmedia.id.Â
Walau suasana puasa terasa, namun kelas-kelas tetap dipenuhi mahasiswa. Beberapa mahasiswa yang tidak kuliah tetap ke kampus untuk mengurus syarat mengikuti ujian tengah semester (UTS). Selama dua minggu UTS berlangsung mulai Senin minggu depan.
UTS menjadi salah satu tonggak penting bagi kampus. Apalagi UTS diadakan pada saat chatGPT dan berbagai aplikasi berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) merajalela. Yang lebih penting lagi adalah UTS juga diadakan pada masa puasa.
Tulisan ini semacam refleksi mengenai bagaimana mahasiswa dan dosen menyikapi manfaat chatGPT di bulan puasa ini. Pemakaian chatGPT memang tidak hanya untuk ujian, seperti UTS, tapi untuk berbagai keperluan hidup kita. Begitu juga, chatGPT tidak hanya dipakai melulu di bulan puasa.
Namun demikian, bulan puasa dengan suasana khidmat mendekatkan diri pada sang Khaliq dapat memberikan kita semacam batasan-batasan dalam memakai chatGPT. Istilah kerennya adalah penggunaan chatGPT secara bertanggung jawab atau responsible use of chatGPT.
Etika umum ini diperlukan agar proses belajar-mengajar tidak berjalan secara instan atau sekedar copy-paste. Proses belajar-mengajar juga bersifat umum yang melingkupi banyak sektor.
Pada konteks tertentu, keberadaan chatGPT bahkan menimbulkan pemikiran bahwa kuliah tidak perlu atau, bahkan, tidak perlu lagi orang berposisi sebagai dosen dan mahasiswa. Oleh karena itu, batasan penggunaan chatGPT perlu agar pengguna tetap bertanggung jawab.
Pertama, chatGPT hanya dipakai untuk mencari ide atau pintu memasuki lautan pengetahuan. Dengan posisi itu, pemakai harus mawas diri dengan jawaban-jawaban chatGPT.
Kehati-hatian ini dimaksudkan agar tidak percaya begitu saja dengan jawaban chatGPT. Cek dan ricek sangat diperlukan untuk menghindari jawaban yang sifatnya spekulatif.
Ujian yang bersifat take-home atau dosen memberikan ujian yang dijawab mahasiswa di rumah (di luar kampus) membuka potensi besar memakai chatGPT. Mahasiswa bisa minta tolong chatGPT untuk menjawab pertanyaan ujian.
Dengan kehati-hatian tadi, mahasiswa tetap membaca jawaban chatGPT dan menghindari perilaku copy-paste. Jawaban mahasiswa tetap membumi dan tidak normatif.
Kedua, menggunakan chatGPT sebagai teman ngobrol yang kritis. Mesin AI ini bisa diperlakukan sebagai teman yang mampu menilai tulisan kita. Faktor kedua ini levelnya satu tingkat lebih tinggi ketimbang nomer satu.
Ketika sudah mendapatkan soal ujian, mahasiswa bisa menuliskan jawaban sesuai pengetahuannya. Setelah itu, jawaban bisa dicopy-pastekan ke chatGPT dengan diawali kata-kata, misalnya "berikan penilaian terhadap jawaban dari pertanyaan..."
Dengan cara itu, chatGPT bisa menilai jawaban sudah sesuai atau belum dengan pertanyaan. Susunan kalimat sudah jelas atau kurang jelas pada aspek tertentu. Dengan cara ini, kita (termasuk mahasiswa) tidak sekedar meminta jawaban, tetapi penilaian kritis.
Faktor ketiga mengenai penggunaan chatGPT secara bertanggung jawab adalah tidak tergantung sepenuhnya. Sejak chatGPT muncul mendobrak dominasi dan arogansi mesin pencari google, berbagai mesin AI semacam chatGPT muncul menawarkan berbagai kelebihan.
Kemewahan di dunia teknologi informasi dan komunikasi (TIK) adalah banyaknya software atau aplikasi berbasis web atau non-web menawarkan manfaat utama serupa. Seperti MS Word mendapat saingan Google Docs dkk, hal yang sama terjadi pada chatGPT.
Mahasiswa ---sebagai generasi pengguna berbagai aplikasi itu--- memiliki kemewahan mencoba berbagai aplikasi itu. Setelah mengetahui manfaat dan kelemahan, mereka bisa menentukan aplikasi mana yang hendak dipilih.
Microsoft power point, misalnya, tidak lagi menjadi satu-satunya pilihan membuat slide presentasi. Aplikasi seperti canva atau tome.app menjadi pesaing utama. Aplikasi terakhir bahkan sangat ampuh dengan hanya memasukkan topik, tome.app dapat menuliskan isi dan sekaligus gambar slide dalam hitungan detik.
Dengan tulisan ini, posisi saya sangat jelas mendukung pemakaian chatGPT dan aplikasi lainnya. Perkembangan TIK sebagai bagian dari arus globalisasi tidak mudah dibendung secara mudah.Â
Sekali lagi, tulisan ini sekedar refleksi atau ajakan di bulan puasa ini agar pemakaian berbagai aplikasi itu dilakukan secara bertanggung jawab.Â
Ajakan ini muncul sebagai bentuk keprihatinan atas penggunaan chatGPT secara total. Seolah-olah chatGPT menguasai pikiran manusia, termasuk mahasiswa. Tanpa sadar bahwa kita sebagai pengguna dikuasai oleh satu aplikasi tertentu.
Ajakan ini tergantung pada kebutuhan memakai chatGPT. Kebutuhan mendesak untuk menulis cepat akan berulang-ulang tanpa berpikir kritis. Repetisi kemudahan itu berakibat pada kurang bekerjanya cara kerja kritis.Â
Jika diteruskan, proses itu menjebak kita memiliki tulisan bagus, tetapi kurang paham dan tidak mampu mempertanggungjawabkan secara verbal melalui model ujian lisan.
Pada akhirnya, kemewahan chatGPT dan aplikasi-aplikasi lain berbasis AI tetap perlu dinikmati. Meski begitu, penggunaannya perlu dengan cara-cara bertanggung jawab.Â
Selamat menempuh ujian tengah semester bagi para mahasiswa , dan baca juga Teks Takbiran 2023 untuk mengetahui teks yang benar seperti apa..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H