Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Multilateralisme ASEAN dalam Pusaran Rivalitas AS dan China

23 Februari 2023   21:57 Diperbarui: 23 Februari 2023   21:58 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
theconversation.com

Association of South East Asia Nations atau ASEAN merupakan salah satu bentuk kerjasama multilateral di kawasan Asia Tenggara. Dalam perkembangannya, ASEAN menunjukkan capaian yang tidak bisa ditandingi kerjasama semacam di berbagai kawasan lain di dunia.

Capaian ASEAN berkaitan dengan stabilitas kerjasama ekonomi di kawasan Asia Tenggara dan perdamaian di kawasan tersebut. Walaupun masalah Myanmar menjadi persoalan pelik bagi ASEAN, namun dinamika kawasan itu memperlihatkan persaingan kepentingan antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Multilateralisme adalah bentuk diplomasi internasional di mana beberapa lebih dari dua negara bekerja sama dalam satu perjanjian yang berbeda. Definisi itu menjelaskan bahwa multilateralisme mengutamakan keterlibatan banyak negara dalam menangani isu dan masalah internasional.

Dalam perkembangan terkini, multilateralisme tidak hanya terdiri dari aktor-aktor negara, namun juga mengundang partisipasi aktor-aktor non-negara. Bali Process, misalnya, bisa menjadi contoh mengenai kerjasama multilateral yang melibatkan negara-negara dan organisasi internasional.

Selain itu, multilateralisme juga menjunjung penghormatan terhadap aturan dan norma yang disepakati masyarakat internasional. Aturan dan norma itu berkaitan dengan isu-isu yang menjadi fokus perhatian bagi aktor-aktor yang bekerjasama secara muktilateral.

Konsep ini berbeda dengan bilateralisme, yang melibatkan dua negara. Begitu juga dengan regionalisme yang melibatkan beberapa negara di wilayah geografis tertentu.

Dalam konteks ASEAN, baik AS maupun China juga telah menggunakan pendekatan multilateralisme dalam menjalin kerjasama. Namun demikian, kedua negara itu disinyalir hanya beretorika dalam mendiskusikan multilateralisme dengan ASEAN.

Salah satu tujuan utama dari multilateralisme adalah mempromosikan keseimbangan kekuatan antarnegara, mengkoordinasikan kebijakan global, dan mengoptimalkan efisiensi dalam pengelolaan masalah internasional.

Versi China
Namun demikian, bahasa multilateralisme kedua negara itu tak lepas dari kepentingan yang mereka usung. Menlu China Wang, misalnya, berkali-kali menyatakan dukungan China terhadap sentralitas ASEAN di kawasan Asia Tenggara. Lebih jauh, Wang menawarkan ”multilateralisme sejati”, yaitu pendekatan yang mengutamakan pembangunan dan kerja sama saling menguntungkan.

Bagi China, istilah multilateralisme  selama ini sering dihinggapi ”mentalitas Perang Dingin”. Multilateralisme cenderung berujung pada pembentukan blok politik tertutup. China memandang cara berpikir multilateralisme semacam itu dimiliki AS dan sekutunya di kawasan ini dan Indo-Pasifik.

Kritik China pada multilateralisme gaya AS itu tampak nyata pada pembentukan pakta pertahanan AUKUS (melibatkan AS, Inggris, dan Australia) pada akhir 2021. Sebelumnya, juga AS  membentuk Dialog Keamanan Kuadrilateral (Quad) bersama India, Jepang, dan Australia pada 2017.

China secara terbuka mempererat hubungan dengan ASEAN dalam upaya persaingan pengaruh dengan Amerika Serikat. China telah menawarkan sejumlah komitmen ekonomi dan kemitraan China-ASEAN terus meningkat. Selama 12 tahun terakhir, China dan ASEAN adalah mitra perdagangan terbesar satu sama lain.

Pada tahun 2021, China meningkatkan status hubungannya dengan ASEAN menjadi mitra strategis dan komprehensif, serta berjanji untuk mengimpor produk-produk bermutu tinggi dari ASEAN. Keseluruhan nilai komitmen ekonomi ini mencapai 150 miliar dolar AS.

Versi AS

Bagi AS, multilateralisme ASEAN seharusnya diwujudkan dalam menangani isu kawasan, termasuk isu Laut China Selatan (LCS). Dengan multilateralisme, semua negara ASEAN bersatu—bukan dengan cara bilateral ala China —menggugat klaim China di perairan itu.

Washington juga menyatakan komitmen mendukung ASEAN dalam isu LCS dalam bentuk  bukti-bukti di lapangan dan landasan hukumnya. Multilateralisme seperti ini tentu saja sangat  tidak diharapkan China, yang memilih jalan bilateralisme dalam menyelesaikan isu LCS.

Kepada anggita ASEAN, AS tidak meminta satu negara pun untuk berpihak. AS tampaknya ingin memberi lebih banyak pilihan kepada ASEAN dalam hal kemitraan di berbagai sektor.

Terkait ASEAN dan Indo-Pasifik, Menlu Blinken menegaskan bahwa, AS tidak memiliki tujuan-tujuan hegemonik. Dengan model multilateralisme itu, AS dan negara-negara lain yang bermitra dengan ASEAN berupaya memberikan kerjasama berkualitas.

Walaupun demikian, multilateralisme AS memang tidak lagi seperti pada masa Perang Dingin. Pada saat itu, kekuatan hegemonik AS di kawasan ini memang memberikan perlindungan keamanan regional dan manfaat ekonomi. Paska-Perang Dingin sekarang, manfaat ekonomi AS bagi negara-negara anggota ASEAN sudah semakin berkurang.

Sentralitas ASEAN
Bagi ASEAN, perbedaan kepentingan dalam mendorong isu multilateralisme bukan hal baru. Prndekatan multilateral ASEAN dapat menaikkan posisi tawar-nya dalam berhadapan dengan AS atau China.

Kebanyakan negara-negara anggota ASEAN mengambil sikap pragmatis dalam berinteraksi dengan AS dan China. Yang mana yang lebih menguntungkan dan memberikan manfaat baik secara ekonomi dan politik-pertahanan akan menjadi pertimbangan ASEAN dan negara-negara anggotanya.

Kecenderungan itu merupakan tantangan tersendiri bagi AS dan China untuk menempatkan diri sebagai pihak yang paling relevan dengan ASEAN. Dalam berbagai kebijakan dapat diidentifikasi bahwa pemihakan negara-negara anggota ASEAN masih sama seperti pada masa Perang Dingin.

Beberapa negara secara khusus membangun kerjasama ekonomi dengan China, tetapi tetap berpihak kepada AS dalam kebijakan keamanan regional. Sementara itu, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam cenderung lebih tergantung kepada China.

Namun kenyataannya, tantangan multilateralisme ASEAN justru berada di meja perundingan. Pada isu Laut China Selatan (LCS), China lebih memilih pendekatan bilateral dengan negara-negara terkait ketimbang cara multilateral. 

Melalui pendekatan bilateral selama ini, negara-negara yang memiliki konflik klaim di Laut China Selatan dapat kekurangan posisi tawarnya berhadapan secara bilateral dengan China.

ASEAN sebenarnya sudah memiliki Code of Conduct  (CoC) mengenai LCS dengan China sejak 2011. Persoalannya adalah China selalu mengingkari kesepakatan multilateral dengan ASEAN. Sebaliknya, China selalu memaksakan kepentingannya melalui diplomasi bilateral itu.

China dan AS berupaya secara intensif mendekati ASEAN. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, negara-negara mitra, termasuk AS dan China, memiliki forum bilateral dengan ASEAN dan negara anggotanya.

Mereka sangat memperhatikan perkembangan ASEAN. Para pemimpin negara-negara mitra dialog ASEAN bahkan menyempatkan diri datang secara langsung pada KTT ASEAN dengan negara-negara mitra.

Kebijakan AS kepada ASEAN telah berubah secara signifikan. Pada masa pemerintahan Donald Trump (2017-2021), kebijakan AS lebih berfokus pada dalam negeri dan kurang memberikan perhatian pada ASEAN.

Namun, Joe Biden sekarang ingin membangun kembali hubungan dengan ASEAN. Pada pertemuan ASEAN-AS pada bulan Februari 2022, hubungan antara keduanya ditingkatkan menjadi kemitraan strategis dan komprehensif, mirip dengan hubungan ASEAN-China.

Dalam kepemimpinan Indonesia pada 2023, ASEAN dan negara-negara anggotanya tetap memiliki kebebasan untuk memilih pola dan jenis kerja sama dengan AS dan China. Prinsip utama sentralitas ASEAN terletak pada kemampuan organisasi itu memberdayakan dirinya sendiri untuk menyetir kepentingannya di kawasan Asia Tenggara, bukan berada di bawah pengaruhi pihak lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun