Namun kenyataannya, tantangan multilateralisme ASEAN justru berada di meja perundingan. Pada isu Laut China Selatan (LCS), China lebih memilih pendekatan bilateral dengan negara-negara terkait ketimbang cara multilateral.Â
Melalui pendekatan bilateral selama ini, negara-negara yang memiliki konflik klaim di Laut China Selatan dapat kekurangan posisi tawarnya berhadapan secara bilateral dengan China.
ASEAN sebenarnya sudah memiliki Code of Conduct  (CoC) mengenai LCS dengan China sejak 2011. Persoalannya adalah China selalu mengingkari kesepakatan multilateral dengan ASEAN. Sebaliknya, China selalu memaksakan kepentingannya melalui diplomasi bilateral itu.
China dan AS berupaya secara intensif mendekati ASEAN. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, negara-negara mitra, termasuk AS dan China, memiliki forum bilateral dengan ASEAN dan negara anggotanya.
Mereka sangat memperhatikan perkembangan ASEAN. Para pemimpin negara-negara mitra dialog ASEAN bahkan menyempatkan diri datang secara langsung pada KTT ASEAN dengan negara-negara mitra.
Kebijakan AS kepada ASEAN telah berubah secara signifikan. Pada masa pemerintahan Donald Trump (2017-2021), kebijakan AS lebih berfokus pada dalam negeri dan kurang memberikan perhatian pada ASEAN.
Namun, Joe Biden sekarang ingin membangun kembali hubungan dengan ASEAN. Pada pertemuan ASEAN-AS pada bulan Februari 2022, hubungan antara keduanya ditingkatkan menjadi kemitraan strategis dan komprehensif, mirip dengan hubungan ASEAN-China.
Dalam kepemimpinan Indonesia pada 2023, ASEAN dan negara-negara anggotanya tetap memiliki kebebasan untuk memilih pola dan jenis kerja sama dengan AS dan China. Prinsip utama sentralitas ASEAN terletak pada kemampuan organisasi itu memberdayakan dirinya sendiri untuk menyetir kepentingannya di kawasan Asia Tenggara, bukan berada di bawah pengaruhi pihak lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H