Indonesia mengusung keketuaan ASEAN pada 2023 dengan tema “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”.
Tema itu secara jelas menegaskan bahwa ASEAN harus memperkuat sentralitas-nya dalam mengelola berbagai persoalan regional di kawasan Asia Tenggara. Selanjutnya, sentralitas itu dapat menjadikan ASEAN sebagai kawasan penting bagi pertumbuhan ekonomi.
Sentralitas ASEAN secara tidak langsung mengungkapkan kemampuan ASEAN untuk mandiri (independent) dari pengaruh kepentingan-kepentingan negara besar. Sebagai ketua, Indonesia harus terus menekankan kepentingan strategis ASEAN sebagai subyek, dan bukan obyek, di kawasan ini.
Tujuan utamanya adalah agar kelompok negara-negara di Asia Tenggara itu tidak terjebak ke dalam pemihakan pada kepentingan Amerika Serikat (AS) atau pax-Americana maupun pada kepentingan China atau Pax Sinica.
Dalam situasi tertentu, ke-10 negara-negara anggota ASEAN juga perlu mengambil kebijakan taktis untuk menghindari pertarungan global antara AS dan Rusia di Asia Tenggara.
Kemampuan ASEAN untuk tetap netral atau tidak memihak pada kepentingan negara-negara besar dapat ditunjukkan pada tiga persoalan regional, yaitu krisis politik di Myanmar, ketahanan pangan dan energi (ekonomi), dan konflik klaim di Laut China Selatan.
Indonesia menghadapi tiga tantangan utama sebagai ketua ASEAN berikutnya: tata kelola di Myanmar, ketahanan pangan dan energi, dan Pedoman Perilaku (Code of Conduct/CoC) untuk Laut China Selatan (LCS) yang disengketakan antara China dengan empat negara anggota ASEAN (Vietnam, Filipina, Brunei Darusallam, dan Malaysia).
Yang paling menarik adalah perbedaan sikap atau kebijakan di antara ke-10 negara anggora ASEAN dengan ASEAN sebagai sebuah organisasi regional terhadap ketiga persoalan itu. Hingga saat ini, ASEAN tampaknya cukup proporsional memberikan sikap independen, mandiri, atau netral terhadap ketiga masalah itu.
ASEAN secara tegas tetap menuntut rezim militer Myanmar mematuhi lima konsensus ASEAN. Selain itu, ASEAN juga bersikap netral dalam menyikapi perang Rusia-Ukraina dan, bahkan, meminta AS tidak membawa perang itu ke Asia Tenggara. Dalam konflik di LCS, ASEAN juga menuntut AS dan China tidak membawa negara-negara anggota ASEAN ke dalam konflik.
Sikap tegas dan netral ASEAN itu sangat berbeda dengan sikap negara-negara anggota ASEAN secara individual. Dalam krisis politik Myanmar, misalnya, negara Indoensia, Malaysia, dan Singapura bersikap keras terhadap pemerintahan militer Myanmar.
Sikap itu berbeda dengan negarapnegara lain, termasuk Thailand, Vietnam, Laos, dan Kamboja yang cenderung ‘diam’ menyikapi perilaku kekerasan rezim militer Myanmar kepada rakyatnya.
Tantangan Indonesia
Dengan konteks regional seperti itu, Indonesia menerima estafet keketuaan ASEAN pada 2023 dari tangan Kamboja. Indonesia memfokuskan keketuaannya pada perluasan kerja sama ekonomi ASEAN.
Selain itu, Indonesia telah memutuskan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ASEAN dengan menstabilkan perdagangan dan meningkatkan akses ke pasar. Presiden Joko Widodo telah menyatakan optimisme bahwa ASEAN akan tetap relevan dan menciptakan kawasan Indo-Pasifik yang damai dan stabil.
Namun demikian, optimisme ini perlu diimbangi dengan kemampuan Indonesia mengatasi tiga tantangan diplomatik yang berpotensi memecah belah ini untuk memastikan keberhasilan selama kepemimpinannya. Indonesia harus menghadapi tiga tantangan besar sebagai ketua ASEAN pada tahun 2023.
Yang pertama adalah fokus pada perluasan kerja sama ekonomi di antara negara-negara anggota ASEAN. Indonesia juga bermaksud membangun konsensus tentang ketahanan pangan dan energi, prioritas utama kawasan.
Tantangan kedua adalah krisis yang sedang berlangsung di Myanmar, yang telah meningkat menjadi perang saudara habis-habisan.
Krisis ini telah mencuri sebagian besar sorotan dari agenda politik-keamanan lainnya dan Indonesia harus menunjukkan kepemimpinannya dengan mencari penyelesaian atas konflik ini.
Indonesia telah menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap junta Myanmar dan memberikan bantuan melalui Pusat Koordinasi Bantuan Kemanusiaan ASEAN untuk penanggulangan bencana (ASEAN Humanitarian Action/AHA), tetapi masih banyak yang harus dilakukan.
Tantangan ketiga adalah mengimplementasikan Konsensus Lima Poin yang dikeluarkan pada KTT Khusus ASEAN mengenai Myanmar di Jakarta pada 2021. Hingga saat ini, pelaksanaan konsesus itu hanya mengalami sedikit kemajuan dan lebih banyak penentangan dari pihak junta Myanmar.
Banyak negara sangat mengharapkan Indonesia mampu menggunakan kepemimpinannya untuk menemukan resolusi yang memuaskan semua pihak yang terlibat dan membawa perdamaian ke Myanmar. Indonesia berharap dapat mengulangi keberhasilannya sebagai Presiden G-20 pada tahun 2022 selama Keketuaan ASEAN pada tahun 2023.
Di sepanjang tahun 2023, Indonesia akan menyelenggarakan lebih dari 300 pertemuan-pertemuan ASEAN di berbagai wilayah negeri ini. Dua pertemuan puncak atau Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN direncanakan akan diadakan di Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur) dan Jakarta.
Memang tidak mudah bagi Indonesia untuk menjalankan keketuaan ASEAN pada 2023 ini. Namun demikian, ikhtiar pemerintah Indonesia untuk memperkuat peran ASEAN sebagai aktor regional yang kredibel, mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang kuat, inklusif, dan berkelanjutan, serta mencari solusi atas konflik di LCS bukanlah patut mendapat dukungan berbagai pihak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI