Obrolan santai di salah satu grup WhatsApp Kompasiana menjadi pemicu tulisan ini. Pertanyaan di judul itu muncul dari kenyataan di perkuliahan selama ini. Memang tidak semua mahasiswa menanyakan kisi-kisi ujian, tetapi hampir semua mahasiswa di kelas tampak mengharapkannya:)
Kenyataan mengenai mahasiswa yang ingin mendapatkan kisi-kisi soal ujian memang makin marak menjelang ujian, baik ujian tengah semester (UTS) maupun ujian akhir semester (UAS). Seolah-olah mahasiswa ingin mempelajari soal dan mempersiapkan jawabannya.
Jika ditinjau dari penyebabnya, maka beberapa faktor bisa menjadi jawabannya, antara lain:
Pertama, misalnya, kebiasaan mahasiswa ketika masih berstatus murid atau pelajar di tingkat pendidikan sebelumnya. Apalagi ketika mereka dituntut memiliki nilai tinggi, tapi abaikan soal proses dan pemahaman materinya.
Faktor penyebab lain bisa berasal dari kurikulum atau keinginan sekolah yang memang berambisi nilai muridnya tinggi. Faktor itu bisa berujung pada ambisi menjadi sekolah favorit dan seterusnya. Akibatnya, berbagai jalan pintas dilakukan, termasuk isu bank soal dan jawabannya.
Meskipun faktor lain masih banyak bisa ditelusuri, tulisan ini tidak hendak melakukan penilaian mengenai masa lalu mahasiswa. Apalagi menilai sistem dan proses studi mereka sebelum di perguruan tinggi atau kampus.
Tulisan ini sangat jauh dari memberi penilaian yang bersifat menyalahkan. Isu itu di luar kebisaan saya dan bukan itu tujuan utama tulisan ini.
Selain itu, tulisan ini juga tidak ingin menyalahkan mahasiswa. Kecenderungan mengkambinghitamkan mereka menjadi tidak bijak dan bukan maksud tulisan ini.
Bagi kebanyakan orang, kebiasaan mahasiswa meminta kisi-kisi soal ujian dapat dianggap sebagai sesuatu yang normal atau biasa. Padahal pandangan itu keliru. Sama kelirunya dengan kecenderungan penilaian orang bahwa jalan tol yang macet itu biasa.
Sebaliknya, tulisan ini lebih dimaksudkan untuk mencoba mengatasi persoalan itu. Mengajak mahasiswa memahami situasi kemahasiswaannya yang berbeda ketimbang di masa pendidikan sebelumnya.
Beberapa faktor ini dapat mendorong mahasiswa untuk berpikir, bersikap, dan bertindak secara berbeda dibanding pada masa sebelumnya. Memang tidak ada efek mujarab dari faktor-faktor di bawah ini dengan tingkat efikasi tinggi dan berlaku di semua situasi.
Pertama, mahasiswa perlu memahami kontrak kuliah, dalam bentuk silabus atau rencana pembelajaran semester (RPS).
Pada setiap awal kuliah, setiap dosen akan menyampaikan maksud kuliah, tujuan, rencana capaian setelah mahasiswa menyelesaikan kuliah, materi kuliah, hingga komponen nilai dan cara penilaiannya.
Semua itu secara umum dikenal dengan nama kontrak kuliah. Dalam konteks ini, kontrak kuliah termasuk jam berapa kuliah dimulai (jika tidak sesuai jadwal) dan pilihan solusi jika dosen tidak bisa mengajar sesuai jadwal kuliah.
Dengan semua informasi itu, mahasiswa tidak perlu ragu atau kawatir dengan dinamika kelas di jaman sekarang. Mahasiswa juga tidak perlu khawatir bahwa soal ujian berbeda dengan materi kuliah.
Kedua, mahasiswa perlu memahami tingkat pendidikan di perguruan tinggi berbeda dengan di masa sebelumnya. Menjadi mahasiswa adalah proses mendewasakan diri, termasuk kemampuan memahami dirinya dan lingkungan perkuliahan.
Dengan melihat materi kuliah setiap minggu di RPS, mahasiswa dapat memetakan materi perkuliahan. Walaupun pengetahuan mahasiswa masih terbatas, distribusi materi di tiap minggu di RPS dapat menjadi panduan tentang sejauh mana dosen memenuhi atau memberikan materi itu.
Lalu, materi-materi kuliah di RPS dapat memberikan inspirasi bagi mahasiswa memahami matakuliah yang diikutinya. Di Jurusan Hubungan Internasional (HI), matakuliah Teori HI tentu saja memberikan lebih banyak teori ketimbang matakuliah studi wilayah, seperti HI di Asia Tenggara, Afrika, Eropa, atau Timur Tengah.
Teori atau konsep yang diberikan di mata kuliah studi wilayah memang bisa diulang di matakuliah lain. Namun demikian, penerapan teori atau konsep yang sama itu tetap berbeda di setiap studi wilayah. Dengan pengetahuan materi kuliah-kuliah itu, mahasiswa sebenarnya tidak perlu meminta kisi-kisi soal atau pertanyaan di ujian terjadwal.
Bahkan mahasiswa juga dituntut mempersiapkan diri menghadapi ujian atau kuis dadakan. Beberapa dosen mencoba melakukan evaluasi perkuliahan sebelumnya dengan cara memberikan kuis kecil di kelas.
Faktor ketiga, mahasiswa pada umumnya diajak berpikir merdeka, tanpa harus sepemikiran dengan dosennya. Kemewahan ini terutama berlaku untuk mahasiswa di ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu HI. Banyak isu sosial mendapatkan banyak analisa berbeda.
Sebuah fenomena yang sama, bahkan, bisa dianalisis dengan teori dan konsep beda, sehingga proses berpikir beda dengan hasil yang berbeda pula. Begitu pula, kasus-kasus yang berbeda berpeluang dianalisa dengan teori atau konsep sama, walaupun kadang perlu mempertimbangkan kesamaan dalam unsur-unsur tertentu.
Selama mahasiswa memahami variasi teori atau konsep, analisa di antara mahasiswa bisa amat berbeda. Begitu juga dibandingkan dengan dosennya. Penilaian baik atau buruknya jawaban mahasiswa terhadap soal ujian juga tidak bisa berdasarkan kesamaan atau perbedaan pilihan politik dengan dosennya.
Bukan karena mahasiswa memilih Jokowi, tetapi dosennya memilih Prabowo, berakibat pada jeleknya nilai jawaban mahasiswa. Penilaian lebih pada argumen mahasiswa dan kemampuan dosen menilai argumen yang dipakai mahasiswa.
Cerita beberapa kolega juga menggambarkankan kenyataan bahwa beberapa kampus, perpustakaan, bahkan tempat-tempat fotokopi di sekitaran kampus menyediakan soal-soal ujian pada semester atau tahun sebelumnya.
Dengan menggunakan ketiga faktor itu, mahasiswa seharusnya tidak perlu meminta kisi-kisi pertanyaan ujian. Ketiga faktor itu setidaknya menjadi pengikat bagi dosen untuk tidak keluar dari jalur materi perkuliahan dalam membuat pertanyaan ujian. Sebaliknya, mahasiswa menjadi percaya diri dengan kemampuan belajarnya di sepanjang semester tanpa berbekal kisi-kisi ujian.
Semua itu memang terlalu mudah diucapkan dan ditulis. The devil is in the details, kata orang bijak. Terlalu banyak faktor X yang dapat menggagalkan ketiga faktor itu bekerja. Meski begitu, ketiga faktor itu setidaknya dapat menghindarkan mahasiswa dari godaan meminta kisi-kisi pertanyaan ke dosen:)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H