Penyelenggaraan Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 tinggal menghitung hari saja. Berbagai pengumuman resmi menyatakan KTT G20 akan diadakan di Denpasar (Bali) pada 15-16 November 2022.Â
Sebanyak 17 pemimpin negara anggota dipastikan hadir dan 3 pemimpin lainnya belum memberikan konfirmasi kehadiran mereka.
Dengan kepastian hanya 17 dari 20 pemimpin negara anggota yang hadir itu, apakah KTT G20, khususnya Keketuaan Indonesia pada KTT G20 2022 ini, (bisa) dianggap berhasil atau gagal?
Tulisan ini tidak mencoba menggiring anda pada keputusan gagal atau tidak. Keputusan itu adalah konsekuensi logis dari pilihan masing-masing. Lebih jauh, tulisan ini lebih menukik pada ukuran/parameter apa saja yang bisa dipakai untuk menilai KTT G20 ini berhasil atau gagal atau lumayan.Â
Ada setidaknya tiga pilihan ukuran/parameter yang bisa dipakai untuk menilai.
1. Ukuran Kuantitas
Bagi pandangan itu, ukuran KTT G20 berhasil atau gagal berdasarkan pihak yang menang dan kalah. Salah satu bentuknya adalah dengan melihat berapa anggota yang datang dan tidak datang. Semakin banyak pemimpin negara yang datang, maka penyelenggaraan KTT G20 dapat dikatakan berhasil.
Pengguna ukuran ini cenderung menempatkan KTT G20 pada tahun 2022 ini dalam ruang kosong. Selain itu, ukuran kuantitas ini juga melihat hal-hal lain di luar KTT G20 bersifat tetap alis ceteris paribus.
Dengan kata lain, fakta bahwa KTT G20 diselenggarakan dalam suasana dunia yang mengalami akibat dari pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina tidak masuk dalam pertimbangan pemegang ukuran ini.
Cara berpikir itu menempatkan kehadiran 17 pemimpin negara yang hadir dan belum jelasnya kehadiran 3 pemimpin anggotanya menjadi satu-satunya ukuran bagi penganut ukuran kuantitas ini. Bagi pendukung ukuran ini, KTT G20 ini cenderung tidak berhasil.
Dalam ukuran ini, absolutisme angka kadang juga menjadi ide utama untuk mengukur KTT G20, sehingga kehadiran 3 pemimpin negara yang belum jelas dapat membawa kepada kesimpulan bahwa KTT G20 pada 2022 ini, termasuk keketuaan Indonesia, telah gagal.
Selain gagal, penganut ini menganggap keketuaan Indonesia dianggap telah kalah. Ketidakhadiran ketiga pemimpin itu (hingga 4/11) menjadi kekalahan Indonesia karena tidak mampu menyelenggarakan dan mempertemukan ke-20 anggotanya.
2. Ukuran Kualitas
Pendukung aliran kualitas ini bertutur bahwa keberhasilan KTT G20 bukanlah soal angka total atau jumlah lengkap dari 20 pemimpin negara anggota yang hadir. Penganut kualitas lebih meliha pada bagaimana KTT G20 bisa memenangkan semua pihak.Â
Kehadiran lengkap bagi kaum pemilih nomer 2 ini bukan pertanda Presidensi Indonesia mengalami kekalahan. Atau sebaliknya, ukuran keberhasilan KTT bukanlah kehadiran semua anggota secara lengkap.
Bagi kelompok penganut nomer 2 ini, kehadiran 17 pemimpin dari 20 anggota lengkap G20 juga dianggap sebagai keberhasilan KTT dan Presidensi Indonesia. Argumentasinya adalah bahwa KTT G20 pada 2022 ini diselenggarakan pada saat dunia menghadapi dua masalah pelik, yaitu pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina.
Kompleksitas persoalan dari dua masalah global itu lebih pada konsekuensi globalnya. Dalam rangka menanggapi kedua persoalan global itu, KTT G20 menjadi relevan tetap diselenggarakan. Relevansi itu dengan resiko bahwa KTT dihadiri oleh 17 pemimpin anggotanya.
Pandangan nomer 2 ini menempatkan KTT G20 pada 2022 ini tidak pada ruang kosong seolah dunia atau hubungan berlangsung normal. Isu rivalitas global antara Amerika Serikat (AS)-Rusia di kawasan Atlantik dan AS-China di kawasan (Indo-)Pasifik, misalnya, menambah kerumitan masalah global. Oleh karena itu, kelompok nomer 2 ini tetap menganggap Presidensi G20 Indonesia tetap berhasil.
Apalagi penyelenggaraan berbagai pertemuan G20 telah berlangsung sejak 1 Desember 2022. Lebih dari 100 pertemuan, partisipasi lebih dari 2.000 peserta, dan hampir semua kementerian beserta stakeholder masing-masing sektor juga menambah optimisme dan menjauhkan dari anggapan kegagalan G20 pada Presidensi Indonesia di 2022 ini.
3. Ukuran Kualitas dan Norma yang Dihasilkan
Tidak hanya semua pihak menang, namun juga sejauh mana KTT G20 itu telah menghasilkan norma-norma bersama. Penilai nomer 3 juga bersikap optimis seperti nomer 2. Namun demikian, Kelompok penilai nomer 3 ini menjelaskan keberhasilan KTT G20 di 2022 ini secara lebih kongkrit.
Berbeda dengan poin-poin yang dinyatakan kaum nomer 2, keberhasilan KTT G20 ini terletak pada kapasitas negara-negara anggota G20 dalam menyepakati berbagai isu-isu perundingan di berbagai sektor, seperti perdagangan, ekonomi hijau, keuangan, pertanian, isu perempuan, isu kedaukatan digital, dan sebagainya.
Yang menarik adalah bahwa semua perundingan itu berlangsung lancar, tanpa banyak pengaruh signifikan dari luberan persoalan sebagai akibat dari perebutan pengaruh global antara AS dan Rusia.
Kenyataan menunjukkan bahwa perang Rusia-Ukraina telah mengakibatkan pemihakan berbagai negara terhadap Rusia dan Ukraina. Sebagian besar negara yang memihak Ukraina berada di dalam barusan AS dan NATO. Kebetulan AS dan negara-negara anggota NATO adalah anggota G7 yang merupakan anggota utama G20.
Posisi Indonesia yang menentang perang Rusia-Ukraina dianggap tidak jelas memihak Rusia atau Ukraina. Apalagi Indonesia tetap menjalin hubungan baik dengan Rusia dan Ukraina. Posisi netral Indonesia yang memihak pada norma global (yaitu norma global yang melawan perang) tidak bisa diterima Ukraina dan pendukung utamanya, yaitu AS dan NATO.Â
Sementara itu, pendukung Ukraina menginginkan Indonesia secara tegas mendukung negara, yaitu Ukraina atau Rusia. Posisi Indonesia ini jelas sekali tidak diterima AS dan kawan-kawan. Mereka hanya menerima posisi Indonesia seperti Singapura yang memihak Ukraina secara penuh dan, sebaliknya, menutup hubungan dengan Rusia.
Bagi Indonesia, pemihakan pada norma atau nilai global/universal itu sangat penting. Ini menyerupai perlawanan Indonesia kepada serangan Israel ke Palestina. Konteks norma atau universal value yang menjadi dasar kebijakan luar negeri Indonesia tampaknya tidak atau kurang dipahami oleh berbagai negara yang menuntut sebaliknya.
Dengan posisi itu, Indonesia menempatkan diri secara baik dalam posisinya sebagai Ketua G20 di 2022. Indonesia menentang perang Rusia-Ukraina dan menyetujui resolusi Maelis Umum PBB pertama yang menentang agresi Rusia ke Ukraina.Â
Berbekal posisi itu Indonesia juga menerima resiko politik global dalam penyelenggaraan beberapa perundingan G20. Perundingan yang melibatkan Menteri Keuangan  dan Menteri Luar Negeri AS dan Rusia terpaksa harus diatur secara diplomatis agar tetap memberikan hasil nyata.
Berbagai hasil kesepakatan di banyak perundingan selama ini akan dipresentasikan pada KTT G20 di pertengahan November itu. Hasil perundingan itu merupakan bentuk keseriusan Indonesia untuk berkontribusi menyelesaikan krisis global sebagai akibat dari pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina.
Pandangan nomer 3 secara jelas menegaskan keberhasilan Indonesia sebagai ketua G20 pada tahun ini. Peran dan pengaruh Indonesia hadir melalui berbagai kesepakatan itu. Penganut nomer tiga tidak terlalu mempersoalkan kelengkapan kehadiran 20 pemimpin anggota G20 mengingat penyelenggaraan KTT bertepatan dengan krisis global.
Dengan 3 ukuran itu, mana yang mau dipakai? Ada kecenderungan bahwa ukuran yang dipakai untuk menjelaskan keberhasilan atau kegagalan G20 itu bisa menjelaskan posisi pengukurnya. Bagi pemerintah atau kelompok dan individu yang terlibat dalam persiapan KTT G20 sejak awal Desember 2021 lalu, KTT G20 ini tetap berhasil.
Satu faktor yang perlu dipertahikan pada saat ini adalah masih ada waktu bagi pemerintah Indonesia, baik Presiden dan Kementerian Luar Negeri, menjalankan lobi-lobi agar ketiga pemimpin anggota itu dapat segera mengkonfirmasi kehadiran mereka. Walaupun ketidakhadiran pemimpin Ukraina patut disayangkan, namun Indonesia harus tetap memanfaatkan waktu yang masih ada untuk fokus pada penyelenggaraan KTT G20.
Acuan keberhasilan mereka adalah ukuran nomer 2 dan 3 di atas. Walaupun ukuran nomer 2 masih kurang sedikit dalam meyakinkan keberhasilan KTT G20, para penganut ukuran nomer 2 tetep mengapresiasi pemerintah berhasil.Â
Bagi nomer 2, ke-17 pemimpin negara yang hadir itu sudah layak dipakai untuk melihat Presidensi Indonesia dianggap berhasil. Apalagi keberhasilan penyelenggaraan KTT G20 dihadapkan pada krisis akibat pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina.
Sementara itu, penjelasan mengenai kebenaran ukuran nomer 1 bisa dibaca ulang pada elaborasi di nomer tersebut di atas. Penganut nomer 1 secara tegas berpandangan bahwa ukuran keberhasilan satu-satunya bagi KTT G20 adalah kehadiran ke-20 pemimpin anggotanya. Jika hanya 17 pemimpin yang hadir tentu saja menghasilkan kegagalan KTT G20.
Tiga ukuran itu bisa saja terlalu simplistis alias menyederhanakan. Ketiga ukuran itu juga amat terbatas, yaitu seolah melupakan ukuran-ukuran lain yang ada. Apalagi jika ada landasan teori atau pendekatan yang lebih khusus atau sektoral.Â
Ketiga ukuran itu saya peroleh secara umum dari pemahaman saya mengenai pendekatan arus utama (mainstream) dalam Hubungan Internasional, Â yaitu realisme pada nomer 1, liberalisme pada nomer 2, dan konstruktivisme pada nomer 3.
Dalam konteks itu, pemerintah dan berbagai pihak lain, termasuk pendukung dan pengkritiknya, dapat mengklaim keberhasilan dan sebaliknya dari penyelenggaraan KTT G20, termasuk Presidensi Indonesia di G20.Â
Semua pandangan yang mengacu pada 3 ukuran dalam tulisan ini adalah sah, tanpa harus saling mengklaim. Dalam tulisan-tulisan di lingkungan kampus, ketiga ukuran itu dapat memberikan manfaat akademis.
Apapun pilihan anda adalah sah secara akademis, walaupun secara politis dapat diperdebatkan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H