Presidensi Indonesia di G20 pada 2022 memang sangat berbeda ketimbang presidensi G20 pada 2020 dan 2021. Perbedaan itu lebih didasarkan pada tantangan eksternal, yaitu perang Rusia-Ukraina.
Sedangkan persamaannya adalah ketiga negara menghadapi pandemi Covid-19 yang menyebar ke seluruh dunia sejak awal Maret 2020. Persamaan itu menjadi alasan utama bagi ketiga negara tuan rumah G20 berupaya menyusun agenda kerjasama multilateral.
Agenda utamanya tentu saja adalah pemulihan ekonomi global dari dampak pandemi. Agenda itu diterjemahkan Presidensi Indonesia ke dalam tema 'Recover Together, Recover Stronger". Ada beberapa agenda di Presidensi Indonesia merupakan kelanjutan pembahasan dari Presidensi sebelumnya.
Sedangkan, tantangan dari perang Rusia-Ukraina mendesak Presidensi Indonesia mengambil langkah berbeda ketimbang Presidensi sebelumnya. Setidaknya ada tiga langkah yang secara umum menjadi pilihan negara-negara anggota G20.
Masing-masing pilihan kebijakan itu menunjukkan kemampuan tiap negara berdiplomasi dalam pusaran dampak perang Rusia-Ukraina. Dampak perang itu secara politik dan keamanan adalah perkubuan di antara berbagai negara, yaitu pertentangan antara pendukung Rusia dan pendukung Ukraina.
Kubu pendukung Ukraina adalah Amerika Serikat (AS) dan anggota NATO di daratan Eropa. Kelompok ini menentang agresi Rusia ke Ukraina. Sedangkan pendukung Rusia adalah negara-negara sahabatnya, seperti China, Myanmar dan seterusnya.
Di antara kedua kubu itu, ada juga kubu negara-negara netral. Dalam kerangka kerjasama forum ekonomi global G20, ketiga kubu itu mencerminkan pilihan-pilihan diplomasi. Salah satu negara netral inj adalah Indonesia.
Tiap pilihan diplomasi itu memiliki konsekuensi berbeda. Konsekuensi itu dapat dilihat pada perilaku tiap anggota dalam berbagai perundingan G20 yang merupakan bagian signifikan dari dukungan mereka terhadap perang Rusia-Ukraina.
Dalam pusaran dampak perang itu, anggota-anggota G20 setidaknya bisa dikelompokkan ke dalam tiga sikap atau respon.
Jalan Pertama
Diplomasi jalan pertama ini merujuk pada perilaku aktor-aktor negara di G20 dalam merespon perang Rusia-Ukraina. Dalam studi Hubungan Internasional (HI), jalan diplomasi ini disebut sebagai realisme.
Dalam pendekatan realisme, negara dianggap sebagai aktor satu-satunya dalam hubungan internasional. Negara adalah satu-satunya aktor yang menentukan situasi perang dan damai. Â