Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Agenda Keamanan pada Pertemuan Menteri Luar Negeri G20

7 Juli 2022   02:41 Diperbarui: 8 Juli 2022   05:05 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Group photo showing the G20 leaders in attendance. (Ludovic Marin/POOL/AFP via Getty Images)

Agresi Rusia terhadap Ukraina menjadi indikator penting mengenai keberadaan agenda keamanan dalam pertemuan Menteri Luar Negeri G20 di Denpasar, Bali. Masuknya perang itu ke dalam agenda menunjukkan tidak dapat dipisahkannya isu ekonomi dengan politik/keamanan di forum G20. 

Walaupun G20 pada dasarnya merupakan forum ekonomi di antara negara-negara anggotanya, forum itu tak pelak harus membicarakan berbagai isu internasional yang sedang berlangsung.

Seperti pada 2021 lalu, agenda G20 pada keketuaan Italia diwarnai oleh berbagai upaya untuk memulihkan perekonomian global. Urgensi tema itu masih tampak kental pada tema G20 pada Presidensi Indonesia di 2022 yang dimulai pada November 2021 lalu, yaitu recover together, recover stronger.

Pada galibnya, agenda G20 juga harus mengakomodasi pengaruh perang Rusia-Ukraina terhadap berbagai agenda pertemuan forum ekonomi internasional itu. Perang Rusia-Ukraina ---yang berkepanjangan sejak 24 Februari lalu hingga sekarang--- perlu direspon oleh negara-negara anggota G20, termasuk pada pertemuan Menteri Luar Negeri mereka.

Menariknya pertemuan tersebut setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor di bawah ini.

Pertama, pertemuan itu akan menunjukkan sejauh mana diplomasi Indonesia dalam mengakomodasi kepentingan negara-negara anggota G20. Akomodasi kepentingan ini menjadi sangat urgen mengingat Indonesia harus mampu mengatur dan mempertemukan berbagai kepentingan yang berbeda.

Walaupun semua negara cenderung sepakat pada sebagian besar isu-isu pembicaraan di G20, kenyataan menunjukkan bahwa mereka tidak sepakat pada kehadiran perwakilan Rusia. 

Sidang menteri ekonomi dan gubernur Bank Sentral beberapa waktu lalu menunjukkan perwakilan beberapa negara walk-out ketika perwakilan Rusia menyampaikan pandangannya.

Indonesia tentu saja tidak menginginkan kejadian itu terulang lagi. Kehadiran Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Antony Blinken, Menlu China Wang Yi, dan Menlu Rusia Sergei Lavrov tentu saja sangat ditunggu oleh banyak pihak dalam agenda pembicaraan mengenai potensi kerja sama dalam perubahan iklim, kesehatan global, dan kontra-narkotika.

Faktor kedua adalah pertemuan itu juga untuk pertama kalinya mengundang Ukraina, walaupun negara itu bukan anggota G-20. Menlu Ukraina Dmytro Kuleba diundang ke pertemuan tingkat menteri G20 setelah negara itu ditetapkan sebagai calon anggota Uni Eropa.

Sama seperti faktor pertama, pertemuan menlu G20 nanti menjadi menarik dan strategis menyaksikan kemungkinan Menlu Rusia dan Ukraina bertemu secara langsung. Walaupun belum diketahui strategi protokoler yang ditempuh Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, harapan mengenai pertemuan kedua pihak yang berperang di Denpasar dapat menjadi modalitas bagi pembicaraan selanjutnya.

Berlarut-larutnya perang Rusia-Ukraina memang telah menimbulkan instabilitas ekonomi global. Selain itu, kenyataan juga menunjukkan bahwa AS dan negara-negara pendukung Ukraina masih memberikan tekanan ekonomi-militer kepada Kremlin hingga Rusia mengakhiri serangan militernya.

Belum ada konfirmasi dari pihak Kemlu AS, RI, dan Rusia mengenai kemungkinan pertemuan formal yang dijadwalkan antara Blinken dan Lavrov di Bali. Dalam situasi itu, kemungkinan AS walk-out untuk memprotes kehadiran Lavrov di G-20 tentu saja perlu diantisipasi.

Faktor ketiga, yaitu kemungkinan Menlu Blinken bertemu dengan Menlu Wang Yi akan menjadi tatap muka pertama mereka. Peluang pertemuan itu dapat menjadi sinyal positif bagi kedua negara mengingat memanasnya persaingan kepentingan mereka di kawasan Indo-Pasifik.

Selain itu, fakta bahwa China merupakan negara sahabat Rusia dalam perangnya melawan Ukraina menjadikan pertemuan Menlu AS dan China memiliki arti penting sangat strategis. Walaupun AS tidak mengesampingkan kedekatan Rusia dan China, namun kecenderungan China berhati-hati dalam membantu Rusia memerangi Ukraina secara langsung telah menjadikan AS memandang pertemuannya dengan China sangat prospektif.

Ketiga faktor di atas tentu saja mempertimbangkan kenyataan mengenai perpecahan atau perbedaan pandangan di antara negara-negara anggota G20 mengenai perang Rusia-Ukraina.

Dalam perang Rusia-Ukraina, G-20 terbelah menjadi kelompok ekonomi-industri maju atau G-7 dan ekonomi berkembang. Sebagian besar anggota di G-7 telah mengutuk dan memberikan sanksi kepada Rusia. Namun demikian, anggota G20 ---seperti China dan India--- mengambil posisi abstain pada berbagai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan tidak secara terbuka mengutuk Rusia.

Upaya internasionalisasi perang Rusia-Ukraina mendorong AS mengkampanyekan isu global mengisolasi Rusia dari pergaulan internasional. Presiden AS Joe Biden bahkan menuntut Rusia keluar dari G-20, tetapi China, Brasil, dan Afrika Selatan menyampaikan keberatan. 

Negara-negara tersebut juga merupakan anggota dari lima negara berkembang besar, yang dikenal sebagai BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan). Bagi kelima negara itu, BRICS merupakan alternatif kerjasama ekonomi yang berada di luar kepemimpinan global AS.

Posisi Indonesia

Hingga pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin, Indonesia tetap berpegang pada prinsip inklusivitas. 

Melalui prinsip itu, Indonesia memandang perpecahan yang diperburuk oleh perang Rusia-Ukraina seharusnya tidak membayangi tema pemulihan ekonomi pada 2022 ini.

Presidensi Indonesia di G-20 secara jelas mempertahankan kebijakan luar negeri bebas dan aktif, yaitu bersikap independen dan tidak berpihak pada kekuatan dunia. 

Posisi itu tampak nyata pada ketegasan sikap Indonesia mendorong Putin hadir KTT G-20 mendatang. Berbagai upaya diplomatik telah dilakukan oleh pemerintahan Jokowi untuk menghadirkan Putin di KTT G20 dan mengundang Zelensky secara khusus dan personal.

Dalam konteks itu, G-20 juga memasukkan agenda keamanan dalam membicarakan isu-isu ekonomi global. Dalam pertemuan antara Presiden Jokowi dan Presiden Putin, Putin secara langsung menyampaikan persetujuannya untuk menjamin keamanan pasokan makanan dan pupuk dari Rusia dan Ukraina. Jaminan keamanan itu tentu saja sangat positif di tengah kekhawatiran mengenai dampak perang terhadap krisis pangan global.

Posisi Indonesia itu menegaskan keinginannya untuk bersikap netral tidak mendukung salah satu pihak yang berperang, namun justru mengajak Rusia-Ukraina bertemu di forum G20. 

Selain itu, sikap netral itu menegaskan keinginan Indonesia agar semua negara anggota G20 tetap fokus pada tema utama yaitu pemulihan ekonomi global dari pandemi Covid-19. 

Paska-pandemi Covid-19, negara-negara di dunia seharusnya berkolaborasi dan berkontribusi menuju pemulihan ekonomi. Salah satu peluang strategis bagi negara-negara untuk berkolaborasi dan berkontribusi itu ada di forum G20.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun