Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Agenda Keamanan pada Pertemuan Menteri Luar Negeri G20

7 Juli 2022   02:41 Diperbarui: 8 Juli 2022   05:05 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sama seperti faktor pertama, pertemuan menlu G20 nanti menjadi menarik dan strategis menyaksikan kemungkinan Menlu Rusia dan Ukraina bertemu secara langsung. Walaupun belum diketahui strategi protokoler yang ditempuh Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, harapan mengenai pertemuan kedua pihak yang berperang di Denpasar dapat menjadi modalitas bagi pembicaraan selanjutnya.

Berlarut-larutnya perang Rusia-Ukraina memang telah menimbulkan instabilitas ekonomi global. Selain itu, kenyataan juga menunjukkan bahwa AS dan negara-negara pendukung Ukraina masih memberikan tekanan ekonomi-militer kepada Kremlin hingga Rusia mengakhiri serangan militernya.

Belum ada konfirmasi dari pihak Kemlu AS, RI, dan Rusia mengenai kemungkinan pertemuan formal yang dijadwalkan antara Blinken dan Lavrov di Bali. Dalam situasi itu, kemungkinan AS walk-out untuk memprotes kehadiran Lavrov di G-20 tentu saja perlu diantisipasi.

Faktor ketiga, yaitu kemungkinan Menlu Blinken bertemu dengan Menlu Wang Yi akan menjadi tatap muka pertama mereka. Peluang pertemuan itu dapat menjadi sinyal positif bagi kedua negara mengingat memanasnya persaingan kepentingan mereka di kawasan Indo-Pasifik.

Selain itu, fakta bahwa China merupakan negara sahabat Rusia dalam perangnya melawan Ukraina menjadikan pertemuan Menlu AS dan China memiliki arti penting sangat strategis. Walaupun AS tidak mengesampingkan kedekatan Rusia dan China, namun kecenderungan China berhati-hati dalam membantu Rusia memerangi Ukraina secara langsung telah menjadikan AS memandang pertemuannya dengan China sangat prospektif.

Ketiga faktor di atas tentu saja mempertimbangkan kenyataan mengenai perpecahan atau perbedaan pandangan di antara negara-negara anggota G20 mengenai perang Rusia-Ukraina.

Dalam perang Rusia-Ukraina, G-20 terbelah menjadi kelompok ekonomi-industri maju atau G-7 dan ekonomi berkembang. Sebagian besar anggota di G-7 telah mengutuk dan memberikan sanksi kepada Rusia. Namun demikian, anggota G20 ---seperti China dan India--- mengambil posisi abstain pada berbagai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan tidak secara terbuka mengutuk Rusia.

Upaya internasionalisasi perang Rusia-Ukraina mendorong AS mengkampanyekan isu global mengisolasi Rusia dari pergaulan internasional. Presiden AS Joe Biden bahkan menuntut Rusia keluar dari G-20, tetapi China, Brasil, dan Afrika Selatan menyampaikan keberatan. 

Negara-negara tersebut juga merupakan anggota dari lima negara berkembang besar, yang dikenal sebagai BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan). Bagi kelima negara itu, BRICS merupakan alternatif kerjasama ekonomi yang berada di luar kepemimpinan global AS.

Posisi Indonesia

Hingga pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin, Indonesia tetap berpegang pada prinsip inklusivitas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun