Selain faktor di atas, penolakan Myanmar menjadi kontributor utama bagi ketidakmampuan ASEAN mewujudkan perdamaian di negara itu. Jenderal Hlaing yang menyepakati kelima konsensus ASEAN di KTT ternyata bersikap berbeda pada politik praktisnya. Kenyataannya, junta militer Myanmar tidak mematuhi peta jalan itu.
Krisis Myanmar yang sudah berlangsung lebih dari setahun tak kunjung menunjukkan kemajuan berarti. Myanmar memang sepakat dengan penunjukkan utusan khusus ASEAN, yaitu Menteri Luar Negeri Kamboja, Prak Sokhonn. Menlu Prak telah mendesak para jenderal yang berkuasa di Myanmar untuk mengizinkannya bertemu dengan semua pemangku kepentingan di sana.Â
Selain dengan junta militer, Prak Sokhonn juga mendesak bertemu dengan pemimpin sipil Myanmar yang terguling, Aung San Suu Kyi. Naum demikian desakan itu harus harus gagal. Menlu Prak tidak bisa bertemu dengan Suu Kyi yang tengah ditahan dan diadili junta. Pada dasarnya, junta Myanmar menghalangi pertemuan utusan khusus ASEAN dengan NLD atau NUG.
Beberapa anggota ASEAN bahkan merasa putus asa atas ketidakmauan junta Myanmar untuk mematuhi. Akibatnya, ASEAN terpaksa mencegah Jenderal Hlaing menghadiri pertemuan regional sampai menunjukkan kemajuan. Larangan kehadiran pemimpin Myanmar itu adalah sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi ASEAN.
Dalam pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, Kamis (17/2/2022), Kamboja tidak mengundang junta militer Myanmar, sebagaimana aspirasi Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura. Keempat negara berpandangan bahwa junta baru bisa diundang jika sudah melaksanakan lima poin Konsensus ASEAN tentang krisis Myanmar.
Pada pertemuan Menlu ASEAN itu, Myanmar untuk pertama kalinya memberi pernyataan resmi bahwa mereka kecewa dengan sikap ASEAN. Namun demikian, Myanmar berkomitmen tetap terus berkomunikasi dengan ASEAN dan anggota-anggota lainnya.
Penguatan ASEANÂ
Sikap Myanmar yang menolak diplomasi damai ASEAN tentu saja tidak menguntungkan kedua pihak. Krisis Myanmar telah menambah persoalan ASEAN dalam mempertahankan sentralitasnya di Asia Tenggara. Sentralitas dan netralitas ASEAN menjadi sangat strategis untuk menjaga stabilitas keamanan di Asia Tenggara.
Selain krisis Myanmar, pada saat ini ASEAN juga harus mengelola potensi konflik di antara negara-negara besar, seperti Amerika Serikat (AS), China, dan Rusia. ASEAN bahkan juga harus menghadapi perbedaan sikap negara-negara anggotanya dalam isu-isu regional, seperti konflik klaim di Laut China Selatan, vaksin Covid-19, dan pakta pertahanan segitiga AUKUS (antara AS, Inggris, dan Australia).Â
Sejak akhir Februari 2022, ASEAN juga harus mengantisipasi potensi perluasan perang Rusia-Ukraina di kawasan ini. Akibat perang itu, Singapura telah membekukan operasi 4 bank milik Rusia di negara itu. Lalu, Filipina berjanji memberikan fasilitas pangkalan militer kepada AS. Di tengah perbedaan dan perpecahan di antara negara-negara anggotanya itu, ASEAN harus mamou mengambil keputusan bersama mengenai berbagai isu internasional itu.
Sementara itu, sikap penolakan Myanmar menyebabkan negara itu dikucilkan di ASEAN. Sejak KTT ASEAN pada akhir Oktober lalu hingga pertemuan menteri luar negeri se-ASEAN bulan Februari lalu, perwakilan politik Myanmar tidak boleh hadir. Larangan hadir juga berlaku pada pertemuan ASEAN dengan mitra wicara atau negara mitra, seperti China dan Uni Eropa. Perkembangan itu tentu saja merugikan hubungan internasional Myanmar.Â