Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Piala AFF: Sensasi Nasionalisme dalam Semangat ke-ASEAN-an

31 Desember 2021   19:21 Diperbarui: 31 Desember 2021   22:08 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Piala ASEAN Football Federation (AFF) selalu menghadirkan sensasi nasionalisme di tengah upaya membangun kebersamaan dalam ASEAN atau ke-ASEAN-an. Masyarakat di sepuluh negara anggota ASEAN seolah lupa bahwa Piala AFF dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai ke-ASEAN-an melalui olahraga, khususnya sepak bola. 

Gambar di atas bukan berarti bahwa penulis tidak memiliki jiwa nasionalisme. Nasionalisme ini terhenti mengetahui kenyataan bahwa tim Indonesia belum pernah menjadi juara Piala AFF sejak 1996, sehingga terpaksa memakai gambar di atas.

Keberhasilan tim Indonesia melibas tim Malaysia sangat menggelorakan nasionalisme masyarakat Indonesia. Begitu pula masyarakat Thailand yang menyaksikan timnya menang atas Indonesia di leg pertama beberapa hari yang lalu. Kemenangan tim-tim nasional itu ternyata sangat minim nilai-nilai kebersamaan dalam olah raga, baik antara penonton maupun tim pemain.

Di hampir setiap penyelenggaraan event olah raga (termasuk di ASEAN), fenomena nasionalisme selalu muncul lebih menonjol. Berbagai pertandingan olah raga di tingkat ASEAN telah mempertemukan tim pemain dan penonton dari masyarakat yang mewakili negara-negara yang bertanding. 

Alih-alih meningkatkan kebersamaan, pertandingan olah raga itu malah mengagung-agungkan nasionalisme. Sejarah olah raga di mana pun juga memang tidak terelakkan telah melahirkan nasionalisme. Bahkan event olah raga sekelas olimpiade pun ---baik musim panas maupun musim dingin--- seringkali memunculkan kompetisi nasionalisme di antara pemainnya. 

Simbol-simbol negara selalu muncul lebih menyemarakkan pertandingan olah raga ketimbang simbol-simbol kebersamaan melalui olah raga. Nasionalisme di antara masing-masing negara anggota ASEAN menjadi sanggat menggelora dalam kompetisi sepak bola se-ASEAN.

Selain AFF ini, ASEAN juga menyelenggarakan SEA Games. Sama seperti AFF, maka SEA Games ternyata juga menampilkan paradoks antara nasionalisme dan kebersamaan masyarakat ASEAN. Nasionalisme sepakbola bisa muncul lewat teriakan atau sorak-sorai penonton, glorifikasi gol, saling mengejek, hingga baku pukul.

Padahal, SEA Games atau Piala AFF seharusnya memunculkan kebersamaan ASEAN. Kemenangan salah satu tim yang berlaga perlu diikuti dengan membangun semangat bagi yang kalah, walah tentu sulit melakukannya di lapangan. 

Merunut sejarahnya, Piala AFF awalnya bernama Piala Tiger dan, kemudian, berubah menjadi Piala Suzuki AFF sebagai konsekuensi dari perubahan sponsor utama bagi laga sepakbola di Asia Tenggara itu. Turnamen sepakbola itu diselenggarakan setiap dua tahun sekali oleh AFF atau Federasi Sepak Bola ASEAN.

Arti Penting

Nilai kebersamaan di antara warga masyarakat di 10 negara anggota ASEAN perlu dikembangkan lebih lanjut melalui berbagai kompetisi olahraga, termasuk Piala AFF. Pertama, interaksi antar-masyarakat, khususnya penggemar sepakbola. Turnamen AFF sebenarnya merupakan sebuah upaya mempertemukan masyarakat dari ke-10 negara anggota ASEAN. 

Kurangnya pertemuan atau interaksi di antara warga masyarakat di ASEAN itu sangat berbanding terbalik dengan pertemuan antar-pemerintahan di ASEAN. Piala AFF hanya diadakan setiap dua tahun. SEA Games hanya setiap empat tahun. Daftar turnamen atau pertandingan di kawasan ini bisa ditambah lagi. Sebagian besar diadakan setahun sekali. 

Sebaliknya, jumlah pertemuan antar-pemerintahan bisa melebihi jumlah hari dalam satu tahun! Bayangkan betapa timpang perbedaannya. 

Akibatnya, kesepakatan lebih mudah dicapai di antara para pejabat pemerintahan. Sebaliknya, konflik atau cek-cok lebih mudah tersulut di antara penonton dari berbagai negara.

Kedua, kalaupun ada, forum-forum pertemuan itu melibatkan interaksi yang sifatnya sangat terbatas dan cenderung elitis. Para penonton sepakbola tidak bisa diharapkan untuk bekerjasama dalam bentuk apapun ketika mereka sedang menonton dan mendukung tim masing-masing. 

Memang betul bahwa sepakbola dapat menghasilkan penonton dalam jumlah puluhan ribu orang ketimbang kegiatan-kegiatan diplomasi yang hanya mempertemukan puluhan hingga ratusan orang dalam sebuah kegiatan antar-negara.

Namun aspek soliditas dan menguatnya identitas kelompok menyebabkan penonton dengan identas berbeda cenderung menjadi sasaran dari berbagai bentuk nasionalisme yang kadang mengkawatirkan kelompok berbeda.

Dalam riuh-rendah nasionalisme tim pemenang AFF nanti, kesadaran mengenai kebersamaan dalam ASEAN perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Luapan nasionalisme memang tidak bisa dihambat sebagai bagian dari glorifikasi kedigdayaan tim olahraga yang mewakili negaranya. 

Namun demikian, upaya membangun ruang-ruang atau space yang lebih banyak masih sangat terbuka lebar di antara masyarakat se-ASEAN melalui berbagai kegiatan olah raga. Memperbanyak kompetisi olah raga yang mendorong pemain dari negara lain bergabung dengan tim-tim olah raga dalam kompetisi nasional atau regional menjadi salah satu solusi menarik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun