Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Janji Blinken Menata Keamanan Indo-Pasifik, Akankah Terwujud?

17 Desember 2021   13:00 Diperbarui: 17 Desember 2021   17:00 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken saat berpidato di Hotel Fairmont, Jakarta, Selasa (14/12/2021).| Sumber: KOMPAS.com/ADITYA JAYA ISWARA

Pertemuan Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS), Anthony Blinken, dengan Presiden Joko Widodo menjadi peristiwa menarik. Pertemuan itu merupakan simbol bahwa AS ingin hadir (kembali) di kawasan Indo-Pasifik ini. 

Kunjungan Blinken ke Asia Tenggara tak ayal menunjukkan peningkatan signifikan dari urgensi kawasan ini bagi AS di masa pemerintahan Presiden Joe Biden. 

Jika lawatan Wakil Presiden AS Kamala Harris merupakan tanda awal kembalinya AS, maka kedatangan Blinken menempatkan Indo-Pasifik sebagai kawasan penting bagi geopolitik AS. 

Dalam tur geopolitiknya, Blinken menempatkan Indonesia sebagai negara pertama yang dikunjungi. Kunjungan Blinken ini adalah kunjungan pertamanya ke Asia Tenggara sejak Presiden AS Joe Biden dilantik pada Januari 2021.

Tujuan utama Menlu Blinken mengunjungi kawasan itu adalah mempertontonkan komitmen dan strategi AS menghadapi China. Dengan tujuan itu, Blinken menekankan prioritas utama kebijakan luar negeri AS, yaitu menentang China yang semakin asertif dan mengkritik China telah melakukan tindakan intimidatif dan tekanan regional, terutama di Laut China Selatan.

Sebagai bagian penting dari kawasan Indo-Pasifik, Asia Tenggara tampaknya menjadi salah satu panggung global dalam persaingan antara AS dan China. Selain itu, posisi AS dan China sebagai dua ekonomi terbesar dunia juga menimbulkan dinamika geo-ekonomi dunia. 

Dengan alasan itu, kunjungan Menlu Blinken hendak mewujudkan kebijakan Biden, yaitu meningkatkan keterlibatan AS dengan 10 negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Janji AS 
Dalam pidatonya di Indonesia pada Selasa (14/12/2021), Blinken menjelaskan dua janji AS bagi stabilitas keamanan di kawasan Indo-Pasifik. Pertama adalah janji Washington bekerja sama dengan sekutu dan mitranya untuk mempertahankan tatanan berbasis aturan. 

https://foreignpolicywatchdog.com/wp-content/uploads/2021/12/secretary-blinkens-remarks-on-a-free-and-open-indo-pacific.jpg
https://foreignpolicywatchdog.com/wp-content/uploads/2021/12/secretary-blinkens-remarks-on-a-free-and-open-indo-pacific.jpg

AS ingin memastikan kebebasan navigasi di Laut China Selatan dan menegaskan bahwa tindakan Beijing di Laut China Selatan telah mengancam pergerakan perdagangan senilai lebih dari 3 triliun dollar AS setiap tahun.

AS dan China sebenarnya telah menyepakati ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP). Namun demikian, kesepakatan itu tetap memerlukan praktik nyata di kawasan itu berkaitan dengan sentralitas ASEAN dan tidak adanya intervensi negara-negara besar di kawasan itu. Kenyataannya, kehadiran dan rivalitas AS-China telah memecah-belah ke-10 negara-negara anggota ASEAN.

Janji kedua, yaitu bahwa AS akan melawan agresi China di Laut China Selatan. AS memandang perilaku China di Laut China Selatan bertentangan dengan hukum internasional. 

Untuk merespon agresivitas China, Washington memperkuat aliansi perjanjian dengan sekutunya di kawasan dan jalinan kemitraan, termasuk dengan ASEAN, serta menjanjikan lebih banyak investasi di kawasan Indo-Pasifik.

Dalam rencana kembalinya AS di kawasan ini, negara besar itu telah membentuk aliansi anti-China, seperti AUKUS bersama Inggris dan Australia. Selain itu, AS juga membentuk QUAD (Quadrilateral Security Dialogue) yang terdiri dari AS, Australia, India, dan Jepang juga dianggap sebagai aliansi untuk menahan pengaruh China di kawasan.

Janji itu masih menunggu realitas pelaksanaannya mengingat selama empat tahun sebelumnya AS cenderung menarik diri dari keterlibatan globalnya, termasuk di kawasan Indo-Pasifik. Faktor lain, yaitu pandemi Covid-19, juga menjadi faktor bagi pemerintahan baru di AS di bawah Presiden Joe Biden untuk memprioritaskan isu domestik itu. 

Hingga akhir 2021 ini, upaya AS untuk kembali lagi di berbagai kerja sama multilateral masih pada tahap awal, yaitu janji atau komitmen. Salah satu janji strategis AS adalah menata keamanan di kawasan Indo-Pasifik. 

Realita berbeda

Dalam konteks itu, respon pesimisme terhadap janji itu menjadi wajar. Pesimisme pertama berkaitan dengan janji AS yang tanpa bukti nyata. Sebagai sebuah awal dari kembalinya ke kawasan ini, janji AS memang penting dan sangat ditunggu negara-negara sekutunya. Namun demikian, janji itu dipandang telah dinyatakan secara berulang, tanpa bukti nyata. 

Negara-negara di kawasan ini sedang menunggu bukti nyata dari janji AS. Sementara itu, kunjungan Blinken ke Asia Tenggara tidak menunjukkan adanya perwujudan nyata janji-janji itu. Hampir satu tahun janji itu dinyatakan sejak Biden dinyatakan menang dalam pemilihan presiden AS akhir tahun lalu.

Pesimisme kedua adalah eksklusivisme kerja sama atau pakta pertahanan yang diinisiasi AS. Inisiatif AS hanya dan masih terbatas pada India, Jepang, Korea Selatan, dan Australia. 

Pakta pertahanan QUAD dan AUKUS hanya melibatkan AS dengan keempat negara itu ditambah Inggris. Kedua insiatif pertahanan AS itu sangat berbeda dengan NATO, misalnya, yang meliputi hampir semua negara di sebuah kawasan. 

Sedangkan pada kawasan Indo-Pasifik, hanya empat negara itu yang menjadi mitra strategis AS. Padahal, negara-negara Indo-Pasifik berada di pesisir Timur Afrika hingga ke Pasifik Selatan. 

Pesimisme ketiga adalah fakta mengenai langkah AS yang memang belum sesuai dengan janjinya. Hingga kini, AS tercatat hanya menggelontorkan dana sebanyak 179 juta dollar AS untuk operasi militernya di Indo-Pasifik. Angka itu bisa dibandingkan dengan mobilisasi dana AS di Timur Tengah yang mencapai 5,4 miliar dollar AS.

Pesimisme keempat adalah fakta bahwa AS belum mampu menyaingi China di bidang ekonomi. Kondisi ekonomi domestik AS tidak memberi kesempatan negara itu bersaing dengan China. 

Akibatnya, banyak negara di kawasan ini yang bergantung pada dukungan ekonomi Beijing ketimbang Washington. AS tidak memiliki skema bantuan ekonomi sebesar Belt and Road Initiative milik China. Kalaupun ada, AS menetapkan banyak persyaratan yang membebani negara lain.

Keempat pesimisme itu menjadi faktor penting bagi kecenderungan peningkatan kehadiran China di Indo-Pasifik, baik di bidang ekonomi dan pertahanan-keamanan.

Fakta di antara kebanyakan negara-negara di Indo-Pasifik sebenarnya tetap mengharapkan kehadiran AS sebagai penyeimbang China. Walaupun pemerintah China telah mengungkapkan komitmen untuk tidak membangun hegemoni di kawasan ini, kehadiran sebuah negara besar sebagai penyeimbang China menjadi sangat penting. 

Negara-negara di kawasan ini tidak menginginkan kedua negara besar itu menempatkan Asia Tenggara sebagai medan pertarungan geopolitik dan geoekonomi. Mereka tetap menginginkan otoritas regional melalui sentralitas ASEAN di kawasan Asia Tenggara. 

Namun demikian, sentralitas ASEAN dalam menciptakan keamanan kawasan tampaknya hanya dapat dicapai melalui kehadiran kekuatan besar sebagai penyeimbang China, yaitu AS. Masalah selanjutnya adalah bagaimana mendorong AS agar segera mewujudkan janjinya menata keamanan di Indo-Pasifik masih menjadi tanda tanya besar hingga akhir 2021 ini.

Sumber: 1, 2.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun