KTT ASEAN-China memang telah berakhir, namun pertemuan itu menghasilkan beberapa komitmen strategis China terhadap ASEAN. Tanpa kehadiran Myanmar, Presiden Xi Jinping sebagai tuan rumah KTT tetap optimis mengenai hubungannya dengan satu-satunya organisasi regional di kawasan Asia Tenggara itu.
Komitmen China mencerminkan harapan atau keinginan kuat negara besar itu untuk membangun perdamaian di kawasan Indo-Pasifik. Sebagai mitra dialog ASEAN, kepentingan utama China adalah mewujudkan citranya menjadi responsible great power.Â
Komitmen itu disampaikan sendiri oleh Presiden Xi Jinping. Pertama, China tidak akan membangun hegemoni di kawasan. Hegemoni ini secara konseptual berarti kekuasaan yang memaksa. Kekuasaan yang dibangun adalah yang bertanggung jawab. Kepentingan ini, misalnya, diwujudkan secara kongkret dalam bentuk rencana pembangunan fasilitas vaksin Covid-19 di Asia Tenggara.
Komitmen kedua, China tidak melakukan bullying atau menindas terhadap negara-negara kecil di sekitarnya. Komitmen ini dapat dikatakan merupakan kelanjutan dari upaya menghindarkan diri membangun kekuasaan hegemonik regional.
Ketiga, China berkomitmen membangun zona bebas nuklir bersama ASEAN. Berdasarkan komitmen ini, China kabarnya bersedia menandatangani perjanjian non-proliferasi nuklir ASEAN.Â
Komitmen ini memiliki arti strategis, yaitu memperkuat penolakan sebagian besar negara-negara anggota ASEAN terhadap pakta pertahanan AUKUS antara Amerika Serikat (AS), Australia, dan Inggris.
Ketiga komitmen itu dilandasi oleh keinginan China membangun dialog dengan ASEAN. China menganggap ASEAN sebagai mitra terdekat di kawasan ini, jika dibandingkan dengan hubungan bilateral China dengan negara-negara di Asia Timur, seperti Jepang dan Korea Selatan.Â
Komitmen ini hendak diwujudkan dengan rencana impor China dari ASEAN. Dialog melalui kerja sama ekonomi kabarnya telah meningkat lebih dari 80 kali sejak China menjadi mitra ASEAN pada 1991.
Hate and Love
Lalu pertanyaannya adalah bagaimana menerjemahkan komitmen China itu ke dalam konteks regional di kawasan Indo-Pasifik, khususnya Asia Tenggara?
Hubungan antara ke-10 negara anggota ASEAN dengan China bisa diibaratkan sebagai hubungan benci dan cinta (hate and love). Banyak yang kesal dengan perilaku China di Laut China Selatan (LCS).Â
Empat negara anggota ASEAN telah merasakan perilaku agresif, provokatif, dan militeristik di perairan strategis di kawasan Indo-Pasifik, seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darusallam.Â
Di perairan LCS, dua negara anggota ASEAN ---Filipina dan Vietnam--- kerap merasakan sendiri provokasi kapal-kapal China. Bahkan sebelum KTT berlangsung, kapal Filipina dihalangi dalam perjalanan menuju gugusan pulau yang menjadi klaimnya.Â
Kegeraman Filipina itu disampaikan secara langsung dan terbuka oleh Presiden Duterte di KTT ASEAN-China itu. Dalam pidatonya, Duterte menyampaikan kemarahannya kepada China. Tidak dijelaskan bagaimana respon Presiden Jinping terhadap protes Filipina.
ASEAN juga sebenarnya merasa kesal dengan perilaku inkonsistensi China antara di meja perundingan dengan di LCS. Diplomasi China cenderung sepakat membicarakan Code of Conduct (CoC) sebagai aturan main perilaku negara-negara di LCS. China dan negara-negara itu bahkan telah 20an tahun lebih bertemu dan bekerja sama dalam forum Informal Meeting for Managing Potential Conflicts in South China Sea.
Namun demikian, perilaku China di LCS sangat berbanding terbalik dan, bahkan, bertentangan dengan komitmen di KTT ASEAN-China tersebut. China justru seringkali mem-bully negara-negara anggota ASEAN yang lebih kecil. Bahkan ASEAN cenderung terjebak di dalam rivalitas antara China dan AS. Kenyataan tersebut tentu saja menjadi perhatian serius ASEAN.
Di sisi lain, banyak pula negara-negara anggota ASEAN yang mengharapkan dukungan ekonomi dari Negara Panda itu. Dukungan ekonomi itu bukan semata berbentuk bantuan gratis atau hibah.Â
Bentuk lainnya bisa berupa investasi atau penanaman modal dari berbagai perusahaan China. China juga diharapkan perdagangan barang baik di ekspor dan impornya. Semua itu masuk dalam skema Belt and Road Initiative (BRI).Â
Melalui BRI yang berbasis pada sejarah, China menggambar peta masa lalunya di zaman moderen ini sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi. Dalam skenario BRI itu, China menjadi pusat dari perekonomian global dengan pusat-pusat ekonomi di berbagai negara lainnya di dalam jalur sutra (silk road).
Gambaran itu menunjukkan secara gamblang bahwa hubungan ASEAN-China bersifat konfliktual dan kooperatif pada saat yang bersamaan. Di satu sisi, klaim China terhadap kawasan perairan LCS telah menimbulkan ketegangan diplomatik dan menaikkan tingkat konflik dengan AS dan negara-negara lain di kawasan itu.Â
Pada kurun waktu tertentu, ekskalasi konflik di LCS dikhawatirkan dapat menjadi embrio bagi Perang Dunia ke-3.
Di sisi lain, kenyataan hubungan internasional menegaskan karakter saling ketergantungan (interdependence) di antara negara-negara anggota ASEAN dengan China.Â
Catatan peningkatan volume perdagangan ASEAN-China hingga 80 kali lebih tinggi dibandingkan 30 tahun lalu tentu saja menjadi capaian yang sangat mengesankan. ASEAN mau tidak mau tetap merasa perlu menjalin dan mempertahankan kerja samanya dengan China.
Kenyataan memang bisa menunjukkan kelebihan dan kekurangan dari sebuah kerja sama internasional antara ASEAN dan China. Namun demikian, harapan China mengenai stabilitas keamanan regional melalui melalui komitmen di KTT tersebut perlu mendapatkan sambutan positif dari ASEAN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H