Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

ASEAN Berani Menolak Lobi China Soal Myanmar

21 November 2021   18:59 Diperbarui: 23 November 2021   06:55 1066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.onebeltoneroad.co.uk/wp-content/uploads/2020/06/ASEAN.jpg

Siapa menyangka bahwa ASEAN berani menolak lobi China. Sebaliknya, China harus menuruti apa kata ASEAN. Tak ada lagi lobi-lobi yang bisa dilakukan China terhadap negara-negara anggota ASEAN agar mengizinkan pemimpin militer Myanmar datang ke pertemuan pemimpin China dan ASEAN pada 22 November 2021.

Jika posisi semua pihak masih sama dan China masih menghormati pandangan ASEAN, maka konferensi tingkat tinggi (KTT) 22 November 2021 tidak dihadiri Jenderal Min Aung Hlaing.

Pihak Kementerian Luar Negeri (Kemlu) China tampaknya sangat berkeinginan agar ke-10 negara anggota ASEAN dapat bertemu pemimpin China Xi Jinping. Dalam pandangan China, ukuran keberhasilan KTT China dan ASEAN adalah bahwa Myanmar juga datang diwakili Jenderal Hlaing. China memang berkepentingan agar pemimpin militer Myanmar Jenderal Aung Min Hlaing hadir pada KTT itu.

Pandangan China itu diketahui publik menjelang pertemuan pemimpim China dan ASEAN, China ternyata telah berusaha keras melobi ASEAN agar mau mengundang Myanmar.

Hasilnya adalah Malaysia, Indonesia, Singapura, Filipina, dan Brunei Darussalam menolak keikutsertaan pemimpin junta Myanmar. Keempat negera itu telah sepakat untuk mempertahankan posisi yang sama dengan KTT ASEAN.

Posisi Indonesia telah ditegaskan oleh Juru bicara Kemlu Indonesia, Teuku Faizasyah. Pemerintah Indonesia menegaskan posisinya pada kehadiran tokoh non-politik sebagai perwakilan Myanmar di ASEAN. Posisi itu mengacu pada "kebijaksanaan" yang ditunjukkan oleh para pemimpin sebelum KTT Oktober 2021 lalu.

Pada KTT ASEAN itu, Menlu Retno Marsudi secara keras menyatakan bahwa Myanmar tidak boleh diwakili di tingkat politik sampai memulihkan demokrasi.

Sedangkan Kemlu Thailand menolak memberikan pandangannya mengenai isu ini. Pendapat Malaysia itu diikuti Singapura, Brunei, dan Vietnam. Sementara itu, dua negara lainnya, yaitu Kamboja dan Laos diperkirakan mendukung upaya lobi pemerintah China itu.

Diplomasi China
Lobi China itu sebenarnya didasarkan pada kebijakan China bahwa negara besar itu mendukung semua pihak di Myanmar dalam mencari penyelesaian politik melalui dialog dan akan bekerja dengan masyarakat internasional dalam upaya untuk memulihkan stabilitas dan melanjutkan transformasi demokrasi.

Untuk mencapai tujuan itu, utusan khusus China untuk urusan Asia, Sun Guoxiang, telah melakukan semacam shuttle diplomacy mengunjungi Singapura dan Brunei. China berharap dapat melobi anggota ASEAN tersebut agar mengizinkan pemimpin militer Myanmar berpartisipasi dalam KTT ASEAN-China.

Namun demikian, penolakan beberapa negara ASEAN itu memaksa Sun menemui dan menyampaikannya kepada Jenderal Hlaing di Ibu Kota Naypyidaw. China mau tidak mau harus menerima pendirian ASEAN, yaitu "mempertahankan prinsip perwakilan non-politik yang diterapkan oleh ASEAN."

Upaya lobi itu sebenarnya merupakan langkah menarik dari diplomasi China untuk menyatukan kembali ASEAN. Diplomasi itu menjadi upaya baru dari pihak luar (eksternal) ASEAN untuk mencari penyelesaian politik melalui dialog dengan negara-negara anggota ASEAN.

Selain itu, diplomasi China juga berkaitan erat dengan kebijakannya untuk bekerja sama dengan masyarakat internasional untuk memulihkan stabilitas dan melanjutkan transformasi demokrasi di Myanmar.

https://www.onebeltoneroad.co.uk/wp-content/uploads/2020/06/ASEAN.jpg
https://www.onebeltoneroad.co.uk/wp-content/uploads/2020/06/ASEAN.jpg

Penolakan ASEAN
Kegagalan China dalam melobi ASEAN itu sebenarnya menunjukkan bahwa ASEAN memiliki konsistensi menjalankan peran sentralnya dalam mengatur berbagai isu di kawasan Asia Tenggara. 

Sikap itu sebenarnya berakar pada kesepakatan para pemimpin ASEAN mengenai Konsensus Lima Poin dalam pertemuan puncak yang berlangsung di Jakarta dan dihadiri oleh Min Aung Hlaing di April 2021.

Konsensus itu mencakup komitmen Myanmar untuk mengakhiri kekerasan dan memungkinkan utusan khusus ASEAN untuk memulai dialog dengan semua pihak, termasuk anggota parlemen yang digulingkan dan mantan pemimpin yang kini dipenjara, Aung San Suu Kyi.

Konsensus itu adalah sikap keras ASEAN menanggapi krisis domestik di Myanmar. Kedudukan Myanmar sebagai anggota ASEAN menjadi perhatian dunia setelah kudeta terhadap kepemimpinan sipil pada 1 Februari 2021 lalu. 

Kelompok militer yang dipimpin Jenderal Hlaing menggulingkan pemerintah terpilih pemenang Nobel Aung San Suu Kyi, yang memicu kekacauan berdarah hingga saat ini.

Citra Myanmar semakin memburuk di mata ASEAN. Apalagi, Myanmar belum menindaklanjuti hasil-hasil konsensus tersebut. Alasan utama junta militer adalah bahwa mereka telah memiliki "peta jalan" sendiri untuk pemilu baru. 

Selain itu, junta militer Myanmar menegaskan tidak melarang utusan khusus ASEAN untuk berkunjung, namun tidak akan mengizinkan utusan khusus itu bertemu dengan Aung San Suu Kyi. Pemimpin sipil Myanmar itu ditahan karena dia didakwa melakukan kejahatan.

Kenyataan tersebut membuat ASEAN kecewa dengan kembalinya krisis dan penindasan demokrasi di Myanmar. ASEAN harus mencari jalan lain untuk menekan Myanmar. 

ASEAN sepertinya menerapkan filsafat Jawa menang tanpo ngasorake atau menang tanpa membuat malu pihak Myanmar. ASEAN meminta Myanmar menunjuk seorang perwakilan non-politik untuk hadir pada KTT ASEAN pada Oktober lalu. Skenario itu pun berjalan sukses, yaitu Myanmar menolak menunjuk perwakilan itu dan menolak hadir KTT ASEAN pada Oktober lalu.

Keputusan itu tidak diambil dengan rasa bangga di antara ke-9 anggota lainnya di ASEAN. Kredibilitas ASEAN dipertaruhkan, jika terbukti tidak mampu memberikan lebih banyak tekanan kepada militer Myanmar untuk “mengakhiri kekerasan tanpa henti” terhadap rakyatnya sendiri.

Keputusan itu belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan kata lain, keputusan itu adalah yang pertama kalinya diambil ASEAN untuk menekan salah satu anggotanya. ASEAN mengambil keputusan itu dengan risiko, yaitu pertanyaan kritis mengenai prinsip non-interference. Kudeta militer Myanmar pada Februari lalu telah mengubah prinsip tersebut.

Penolakan ASEAN terhadap lobi China juga merupakan langkah strategis ASEAN terhadap konsistensi pandangannya. Pertaruhan kredibilitas ASEAN itu telah memaksa China menuruti pandangan ASEAN, yaitu KTT China-ASEAN 2021 tanpa kehadiran Myanmar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun