Kenyataan tersebut membuat ASEAN kecewa dengan kembalinya krisis dan penindasan demokrasi di Myanmar. ASEAN harus mencari jalan lain untuk menekan Myanmar.
ASEAN sepertinya menerapkan filsafat Jawa menang tanpo ngasorake atau menang tanpa membuat malu pihak Myanmar. ASEAN meminta Myanmar menunjuk seorang perwakilan non-politik untuk hadir pada KTT ASEAN pada Oktober lalu. Skenario itu pun berjalan sukses, yaitu Myanmar menolak menunjuk perwakilan itu dan menolak hadir KTT ASEAN pada Oktober lalu.
Keputusan itu tidak diambil dengan rasa bangga di antara ke-9 anggota lainnya di ASEAN. Kredibilitas ASEAN dipertaruhkan, jika terbukti tidak mampu memberikan lebih banyak tekanan kepada militer Myanmar untuk “mengakhiri kekerasan tanpa henti” terhadap rakyatnya sendiri.
Keputusan itu belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan kata lain, keputusan itu adalah yang pertama kalinya diambil ASEAN untuk menekan salah satu anggotanya. ASEAN mengambil keputusan itu dengan risiko, yaitu pertanyaan kritis mengenai prinsip non-interference. Kudeta militer Myanmar pada Februari lalu telah mengubah prinsip tersebut.
Penolakan ASEAN terhadap lobi China juga merupakan langkah strategis ASEAN terhadap konsistensi pandangannya. Pertaruhan kredibilitas ASEAN itu telah memaksa China menuruti pandangan ASEAN, yaitu KTT China-ASEAN 2021 tanpa kehadiran Myanmar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H