Pada pelaksanaan KTT ke-38 ini, salah satu agenda penting Association of South East Asian Nations (ASEAN) adalah penyelesaian krisis Myanmar. Agenda lain yang juga tidak kalah penting adalah inisiatif kerja sama ASEAN melawan pandemi Covid-19. Namun demikian, krisis Myanmar tampaknya sangat mendesak diselesaikan ASEAN.
Krisis itu telah berlangsung sejak kudeta militer pada 1 Februari 2021. Kudeta terhadap pemerintahan sipil hasil Pemilu demokratis 2020 telah menggeser persoalan ini tidak sekadar di tingkat domestik, namun telah menjadi persoalan regional berkepanjangan hingga saat ini.
ASEAN sebenarnya telah mencapai kesepakatan mengenai lima (5) konsensus dengan pemerintahan militer Myanmar pada pertemuan khusus ASEAN di pertengahan 2021 lalu.Â
Lambatnya pelaksanaan konsensus itu dan kerasnya sikap menentang pemerintahan Jenderal Hlaing membuat ke-5 konsensus itu belum terlaksana. Akibatnya, ASEAN seperti menemui jalan buntu.
Masalah Perwakilan
Perkembangan ASEAN menjadi menarik dan dinamis menjelang KTT ke-38 ini. Tanpa diduga sebelumnya, ASEAN justru terlihat berada dalam pusaran konflik dengan pemerintahan militer Myanmar. Ke-5 konsensus itu seperti tidak cukup bagi ASEAN untuk menekan pemerintah Myanmar.Â
Pada KTT ini, akar persoalan terletak pada siapa yang diundang ASEAN untuk mewakili Myanmar pada KTT itu. ASEAN telah berketetapan mengundang perwakilan non-pemerintah Myanmar.Â
Salah satu aktor penting yang masuk dalam kategori non-pemerintah itu adalah National United Government (NUG). Undangan itu mungkin bisa dianggap merupakan bentuk koreksi diri bagi ASEAN. Pada pertemuan sebelumnya, ASEAN telah mengundang pemerintahan militer Jenderal Min Aung Hlaing.Â
Selain itu, sikap itu juga dianggap berbagai pihak sebagai pengakuan terselubung dari ASEAN terhadap pemerintahan Myanmar. Seperti diketahui bersama, pemerintahan pada saat ini berhasil berkuasa setelah melengserkan pemerintahan sebelumnya melalui kudeta militer 1 Februari 2021.
Menyikapi undangan ASEAN itu, pemerintahan Jenderal Hlaing secara mengejutkan juga ingin hadir di KTT itu. Sikap ini sebenarnya sudah bisa diprediksi sebelumnya. Sebagai pihak yang berkuasa, Jenderal Hlaing merasa pihaknya adalah yang paling berhak mewakili negara Myanmar.Â
Hingga hari ini, ketidakjelasan mengenai wakil Myanmar di KTT ASEAN masih belum mendapatkan solusi. ASEAN sendiri tetap kekeuh dengan undangannya kepada perwakilan non-pemerintah sebagai wakil Myanmar di KTT ini.
Akibatnya, pemerintah Myanmar tetap diam seribu bahasa ketika gilirannya berbicara tiba. Myanmar was a no show. Permanent Secretary dari Kementerian Luar Negeri Myanmar sebenarnya telah diundang ASEAN untuk hadir, namun pemerintah Myanmar ternyata menolak berbicara di KTT itu. Myanmar telah memboikot KTT ASEAN.Â
Bersikap Hati-Hati
Dengan situasi pelik itu, ASEAN harus bersikap hati-hati. Kehati-hatian ini diperlukan mengingat ASEAN harus membangun perdamaian di antara negara-negara anggotanya. Ada beberapa alasan mengenai urgensi sikap hati-hati ini.
Pertama, sikap ini sangat penting agar ASEAN dapat tetap menempatkan diri sebagai mediator. Para menteri luar negeri se-ASEAN pasti sangat memahami kenyataan ini.Â
Dilema ASEAN memang muncul ketika mengundang perwakilan pemerintah atau non-pemerintah Myanmar. Meskipun demikian, ASEAN harus menunjukkan sikap tegas terhadap pemerintah militer Myanmar.Â
Hingga hari ini penyelenggaraan KTT, informasi mengenai siapa perwakilan Myanmar masih belum berubah. Tidak ada informasi mengenai apa saja kemungkinan langkah pemerintah Myanmar jika ASEAN tetap mengambil sikap itu.Â
Walaupun pemerintah Myanmar menyatakan pihaknya memiliki hak untuk datang, informasi mengenai respon ASEAN juga belum ada. Situasi ini menjadi ujian nyata upaya mediasi ASEAN terhadap krisis Myanmar.
Kedua, ASEAN harus menjunjung prinsip non-interference. Pada praktiknya, upaya menegakkan prinsip itu menjadi tantangan berat bagi ASEAN.Â
Kritik terhadap ASEAN muncul ketika mengundang Jenderal Hlaing pada pertemuan khusus ASEAN di Jakarta. Undangan itu berarti semacam pengakuan kepada pemerintahan militer yang mengkudeta pemerintahan hasil Pemilu 2020.Â
Upaya ASEAN menemukan solusi atas krisis Myanmar perlu ditempuh dengan menghormati prinsip non-interference itu. Penghormatan ini perlu dilakukan agar organisasi regional ini tetap mempertahankan sentralitas ASEAN di kawasan ini.
Ketiga, ASEAN harus mampu menampilkan diri sebagai pihak yang mampu menawarkan solusi di tengah pandemi ini.Â
Solusi bagi krisis Myanmar sebenarnya sudah ditawarkan oleh ASEAN, yaitu lima (5) konsensus. Namun persoalan lebih pada pelaksanaan kelima konsensus itu. Ada tarik-menarik kepentingan dan kepemimpinan ASEAN dalam penyelesaian krisis Myanmar.
Sebelum masalah perwakilan muncul ke permukaan, ASEAN telah meminta pihak Myanmar menjalankan komitmennya terhadap konsensus itu. Pihak ASEAN juga telah memilih wakil dari Brunei Darusallam sebagai utusan khusus ASEAN dalam penyelesaian krisis Myanmar.Â
Namun demikian, penentu akhir bagi jalannya mediasi ASEAN adalah pemerintah Myanmar. Diamnya sikap pemerintah Myanmar tampaknya merupakan tanda penolakannya terhadap urusan khusus ASEAN itu.Â
Berlarutnya masalah itu juga berlangsung di tengah upaya negara-negara anggota ASEAN menghadapi pandemi Covid-19. Akibatnya, ASEAN seperti tidak memiliki cara lain hingga menjelang KTT ini, kecuali soal perwakilan Myanmar di KTT.
Ketiga alasan itu sebenarnya mengerucut pada isu sentralitas ASEAN. Isu ini selalu mengemuka dalam berbagai persoalan di kawasan Asia Tenggara. Sebagai satu-satunya organisasi regional di kawasan ini, ASEAN harus menjalankan posisi sentralnya untuk mengelola berbagai masalah regional.
Memang tidak mudah mencari solusi terhadap krisis Myanmar. Apalagi krisis itu telah memecah belah sikap negara-negara anggota ASEAN. Kompleksitas persoalan bertambah jika dibumbui dengan kepentingan Amerika Serikat, Rusia, dan China. Ketiga negara besar itu memiliki kepentingan global di kawasan ini, termasuk di Myanmar.
Masalah Myanmar memang menjadi ujian berat bagi sentralitas ASEAN. Ujian itu akan berujung pada nilai baik, buruk, atau sedang-sedang saja akan tergantung pada hasil KTT ini.Â
Satu hal yang pasti adalah bahwa ASEAN merupakan mediator bagi penyelesaian krisis Myanmar. ASEAN bukan salah satu pihak yang berkonflik. Sikap ini perlu diperjelas terlebih dahulu di antara negara-negara anggota ASEAN di KTT ini agar tidak menimbulkan persoalan lainnya.Â
Selanjutnya, kejelasan sikap ASEAN itu akan mempermudah upaya mediasinya dalam krisis Myanmar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H