Menulis memiliki banyak tujuan yang tergantung pada penulis masing-masing. Salah satu tujuannya adalah menerbitkan tulisan-tulisan ke dalam bentuk buku.
Dengan tujuan itu, aktifitas menulis dimaksudkan untuk mengumpulkan tulisan sebanyak mungkin atau dalam jumlah tertentu agar layak menjadi sebuah buku.
Jaman dulu ketika internet belum lahir dan jurnal akademik masih amat terbatas, buku adalah jendela dunia. Membaca buku membuat pembacanya mengenal dunia. Melalui buku juga, seorang penulis dikenal dunia. Jadi, penulis dan buku tidaklah terpisahkan. Mereka memiliki hubungan intim.
Bagi para penulis kawakan, menulis menjadi sebuah kebiasaan. Menulis adalah 'laku urip' atau bagian dari kehidupan pribadinya. Menulis bahkan seperti makan tiga kali sehari. Rasanya seperti 'lapar' karena belum menulis atau tulisan belum selesai.Â
Seorang penulis bisa juga disebut 'berpuasa' karena tidak menelurkan satu tulisan pun dalam satu hari. Keinginan menulis dalam satu atau beberapa hari tentu saja juga bergantung pada komitmen seorang penulis pada dirinya sendiri. Penulis atau Kompasianer seperti ini biasanya sudah mengumpulkan banyak tulisan tersebar ke berbagai media, termasuk Kompasiana ini.Â
Sementara itu, kegiatan menulis juga seperti seorang bayi merangkak dan berjalan kaki bagi penulis pemula. Ketika menulis bisa dilakukan berkali-kali, maka penulis pemula itu mulai bisa berjalan. Ketika tidak sedang menulis karena mood sedang 'bersembunyi', si penulis pemula bisa diasosiasikan sedang merangkak.Â
Tulisan ini tidak hendak membedakan antara penulis kawakan dengan pemula. Pada dasarnya, ketekunan plus determinasi yang tinggi akan membuat kedua jenis penulis itu dapat memiliki tulisan banyak. Apalagi di Kompasiana ini, seorang Kompasianer dapat menggugah sebanyak mungkin tulisan pada satu hari yang sama. Ini adalah salah satu kelebihan blog bersama ini.Â
Dengan banyak tulisan itu, modal penulis untuk membuat dan menerbitkan buku menjadi makin mudah. Ketika tulisan ditulis oleh penulisnya sendiri, maka menerbitkan buku memerlukan pihak lain. Pihak lain ini adalah penerbit buku yang sudah diakui dan menjadi anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Melalui penerbit buku itu, sebuah buku akan memiliki identitas berupa nomer International Standard Book Number (ISBN).
Oya, saya harus menyampaikan bahwa saya tidak memiliki penerbitan buku agar tulisan ini tidak bias kepentingan:) Lalu, tulisan ini berdasarkan pengalaman saya browsing atau mencari-cari informasi tentang menerbitkan buku.
Berikut ini adalah pilihan-pilihan menarik dalam menerbitkan sebuah buku. Pilihan pertama adalah penerbitan buku secara gratis. Sedangkan pilihan kedua dan selanjutnya bersifat berbayar.Â
Pertama, menerbitkan buku secara gratis di penerbit besar. Penerbit di dalam grup Kompas-Gramedia, Graha Ilmu, dan berbagai penerbit lain memungkinkan penulis menerbitkan naskah bukunya secara gratis. Karena gratis atau semua biaya ditanggung penerbit, maka proses sejak memasukkan naskah hingga menjadi buku memerlukan waktu dan beberapa tahapan. Tahap terpenting adalah seleksi naskah oleh tim editor penerbit. Jika tahap itu bisa dilalui, maka proses selanjutnya tinggal menunggu informasi dari penerbit langsung.
Kedua, paket minimalis, yaitu menerbitkan file pdf dan ber-ISBN. Paket berbayar ini memberi kesempatan kepada penulis untuk mencetak sendiri ebook yang telah dibuatkan penerbit. Pada paket ini, penerbit sama sekali tidak mencetak satu pun buku. Dengan cara itu, pencetakan buku dapat dilakukan di penerbit itu atau di berbagai tempat fotokopi umum. Cara ini merupakan pilihan minimal, sehingga buku bisa dijual sendiri secara personal ke orang lain. Buku ini juga bisa disebarkan ke orang lain secara gratis.Â
Ketiga, paket penerbitan hemat. Paket ini biasanya menawarkan pencetakan dalam jumlah 10-30 eksemplar buku kepada penulis. ISBN, sertifikat penulis, file ebook, penjualan buku cetak dan ebook di website penerbit, serta pembagian royalti biasanya sudah ada di dalam paket penerbitan hemat ini. Penerbit juga akan mengirimkan sejumlah buku ke Perpusnas sebagai syarat bahwa buku dengan ISBN tertentu sudah terbit.
Keempat, paket penerbitan ekonomis. Serupa dengan paket hemat, paket ekonomis ini biasanya menawarkan penjualan ke google playbook juga. Dengan tambahan biaya, penerbit juga menawarkan pengurusan sertifikat HKI bagi buku tersebut.
Apakah semua buku harus diterbitkan dengan ISBN? Tentu saja tidak harus. Masih ada pilihan lain, yaitu membuat buku. Pilihan ini dapat dilakukan penulis sendiri dengan membuat buku elektronik atau ebook sendiri. Ada banyak tips atau cara membuat ebook secara manual atau dengan aplikasi tertentu telah tersedia di jagat internet. Lalu, penulis juga menge-print sendiri bukunya. Setelah itu, buku itupun terbit.Â
Buku-buku tanpa ISBN biasanya beredar secara indie di luar jalur mainstream di toko-toko buku. Beberapa kelompok penyuka buku indie bahkan secara berjejaring telah mendirikan beberapa toko buku bagi buku-buku tanpa ISBN.
Pada berbagai pilihan di atas ---selain pilihan nomer satu--- distribusi atau sirkulasi buku dapat dilakukan secara mandiri oleh penulis sendiri. Jaman internet dengan model pengiriman buku yang sudah moderen pada saat ini telah memudahkan pola-pola penjualan buku secara langsung ---tanpa melalui toko buku--- menjadi lebih mudah.Â
Pilihan menerbitkan dan membuat buku itu tergantung pada penulis sendiri. Anda dapat berpayah-payah melakukan semuanya sendiri demi buku bisa terbit secara murah dan secepat yang dimaui. Bisa juga naskah buku diserahkan semua kepada penerbit tanpa biaya sepersenpun dengan jangka waktu tertentu untuk terbit.Â
Semua pilihan itu menarik untuk menjadi pertimbangan menerbitkan buku. Jaman internet ini memang sudah mengenalkan kita pada ebook dan berbagai platform online untuk menjual ebook itu. Lalu, apakah buku masih akan diterbitkan secara fisik atau tidak? Itu semua bakal juga amat tergantung pada para penulis sendiri.Â
Namun begitu, keinginan untuk memegang bukunya sendiri secara fisik dan membaui buku karya sendiri tetap merupakan sensasi tersendiri bagi seorang penulis. Membuka-buka halaman buku hasil karya sendiri sambil mengingat proses penulisan, lalu bergumam dalam hati 'kok bisa ya saya menulis seperti ini?"Â
Bagi saya, rasanya aneh jika seorang penulis menerbitkan buku, tetapi dalam bentuk elektronik saja. Bentuk fisik buku tetap perlu dan sensasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H