Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Piala Sudirman dalam Diplomasi Olahraga Indonesia dan Dunia di Masa Pandemi

28 September 2021   17:15 Diperbarui: 1 Oktober 2021   02:46 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trofi Piala Sudirman yang diperebutkan pada kejuaraan beregu campuran antar negara, Piala Sudirman 2017, di Gold Coast, Australia, 21-28 Mei.(sumber: DJARUM BADMINTON via kompas.com)

Piala Sudirman tetap berjalan walaupun dunia masih dilanda pandemi Covid-19. Kejuaraan bulutangkis internasional Piala Sudirman merupakan salah satu dari rangkaian kejuaraan bulutangkis di berbagai negara. 

Walaupun diadakan secara berpindah di negara-negara berbeda dan dimenangkan oleh negara lain, Piala Sudirman merupakan salah satu simbol diplomasi olahraga Indonesia di cabang olahraga (cabor) bulutangkis atau badminton.  

Berbeda dengan berbagai kejuaraan bulutangkis lainnya yang diselenggarakan di sebuah negara secara menetap ---termasuk All England Cup--- sebagai turnamen tahunan di negara itu, Piala Sudirman diadakan setiap dua tahun di negara berbeda. 

Selain itu, Piala Sudirman tidak memperebutkan hadiah uang. Para pemain bertanding hanya untuk membela nama negara dan memperoleh poin peringkat BWF.

Sebagai lambang atau simbol bagi diplomasi olahraga Indonesia, nama Sudirman diambil dari nama tokoh perbulutangkisan Indonesia, yaitu almarhum Dick Sudirman. Beliau adalah salah satu pendiri Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) dan dikenal juga sebagai bapak bulu tangkis Indonesia. 

Dibandingkan dengan cabang olahraga (cabor) lainnya, bulutangkis atau badminton memang telah menjadi salah satu olahraga yang sering mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia. 

Di masa pandemi ini, cabor badminton bahkan melambungkan nama Indonesia melalui raihan 1 emas di Olimpiade dan 2 emas di Paralympic Tokyo 2021 lalu. Hingga saat ini, capaian tersebut tampaknya belum dapat disaingi cabor lainnya.

Indonesia mencetuskan kejuaraan ini untuk pertama kalinya di tahun 1986. Piala Sudirman yang pertama digelar di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta pada 24-29 Mei 1989. 

Pada kejuaraan tersebut, Indonesia berhasil tampil sebagai juara dengan mengalahkan Korea Selatan dengan nilai 3-2. Itulah satu-satunya gelar Piala Sudirman yang pernah diraih Indonesia.

Dalam kejuaraan Piala Sudirman 2021 di Vantaa, Finlandia, Indonesia tentunya berharap dapat merebut juara dan membawa kembali piala itu ke Indonesia di 2021 ini. 

Tidak cukup hanya memiliki kejuaraan internasional dalam bentuk Piala Sudirman sebagai wajah diplomasi kita, namun euforia meraih medali emas di Olimpiade dan Paralympic di Tokyo harus menjadi pemacu semangat merebut Piala Sudirman dan membawanya pulang ke Indonesia.

Alat Diplomasi

Dalam studi Hubungan Internasional, olah raga merupakan salah satu dari banyak bentuk dari diplomasi publik. Tujuan utama dari diplomasi publik adalah memenangkan hati dan pikiran (winning hearts and minds). Melalui Piala Sudirman, Indonesia menggunakan olahraga bulutangkis sebagai alat diplomasinya. 

Di dunia perbulutangkisan, berbagai macam kejuaraan menggunakan nama negara masing-masing sebagai bagian dari rangkaian kegiatan tahunan yang diikuti para pemain cabor ini dari satu negara ke negara lainnya. 

Bagi Indonesia, nama Sudirman disematkan di kejuaraan intenasional cabor ini seharusnya tidak sekedar membawa nama Indonesia saja. Nama itu harus menyemangati perjuangan para pemain memenangkan setiap pertandingan.

Penggunaan olahraga sebagai alat diplomasi mau tidak mau sangat terkait dengan politik. Salah satunya adalah demi membangun semangat nasionalisme. Setiap serangan smash pemain Indonesia mencerminkan perjuangan mewujudkan nasionalisme itu. 

Semangat ke-Indonesia-an terbangun dalam wujud sorak-sorai penonton ketika smash pemain Indonesia tidak bisa dikembalikan pemain negara lain. 

Reli-reli panjang dan strategi beckhand smash, drop shot mengejutkan, atau serve cepat seakan membawa para penonton ikut serta dalam dinamika merebut kemenangan demi nasionalisme itu.

Penggunaan olah raga untuk membangun nasionalisme telah dicontohkan oleh berbagai negara. Salah satu contoh kontemporer adalah penyatuan tim Korea Utara dan Korea Selatan pada Olimpiade musim panas, yaitu di Sydney (Australia) 2000 dan Athena (Yunani) 2004. 

Mereka juga mengibarkan bendera unifikasi Korea pada Olimpiade musim dingin 2006. Penyatuan dua Korea berlangsung selama 17 hari di Olimpiade Musim Dingin 2018 di Pyeongchang, Korea Selatan (Korsel).

Nasionalisme sebagai satu Korea telah menciptakan perdamaian walaupun dalam jangka pendek saja. Langkah politik melalui olahraga itu merupakan bentuk nyata dari peran olahraga dalam mendamaikan dua Korea yang berseteru hingga saat ini.

Sebagai alat perdamaian, para pemimpin dunia telah menggunakan olah raga sebagai bagian dari diplomasi mereka. Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela, mengakui menggunakan Piala Dunia Rugbi pada 1995. Tujuan Mandela adalah untuk menyatukan warga kulit hitam dan kulit putih. 

Contoh paling fenomenal adalah upaya perdamaian antara Presiden AS Richard Nixon dan pemimpin China Mao Zedong. Kedua pemimpin dunia itu memanfaatkan olahraga pingpong untuk mengurangi ketegangan hubungan kedua negara. 

Selain membangun nasionalisme dan perdamaian, pertandingan olah raga internasional diyakini dapat memberikan pengaruh positif bagi hubungan dua negara yang sedang berkonflik. 

Pengaruh positif itu dalam bentuk meredakan atau mengurangi tensi konflik dan, tentu saja, berakhir dengan perdamaian. Perdamaian di antara 2 negara bersaudara, seperti Jerman (Barat dan Timur), Korea (Selatan dan Utara) juga berlangsung demi partisipasi bersama mereka di Olimpiade.

Pengaruh positif berbagai kegiatan olahraga internasional dalam menumbuhkan nasionalisme dan perdamaian ini mendorong munculnya kelompok-kelompok optimis. 

Mereka juga meyakini peran dan pengaruh olahraga dan olahragawan dalam membuka pemikiran sebagian orang yang sebelumnya berpikiran terbatas dalam melihat olahraga. 

Olahraga membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi peristiwa yang mengagetkan semua orang di dunia ini. Siapa meyangka bahwa pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, dikabarkan bersahabat dengan pebasket Amerika Serikat, Dennis Rodman. Persahabatan itu membuat Rodman menganggap dirinya sebagai orang Amerika yang paling tahu Korea Utara ketimbang para politisi AS.

Pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un dan mantan bintang NBA Dennis Rodman(RODONG SINMUN/EPA) 
Pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un dan mantan bintang NBA Dennis Rodman(RODONG SINMUN/EPA) 

Seperti Rodman, maka para pemain olahraga itu yang menjadi pelaku atau aktor utama diplomasi. Peraih medali emas Susi Susanti, Alan Budi Kusuma, Greysia Polii, Apriyani Rahayu, dan para pemain bulutangkis parasport seperti Leani Ratri Oktila, Hary Susanto, dan Khalimatus Sadiyah adalah para diplomat olahraga. 

Para pemain dari berbagai cabang olahraga lain juga merupakan aktor utama yang berada di garis terdepan dalam diplomasi olahraga bagi Indonesia. 

Mereka tentu saja tidak sendirian. Perjuangan para aktor diplomasi olah raga itu difasilitasi dan dikoordinasi bersama oleh kerjasama antara Kementerian Olahraga dan Pemuda dengan Kementerian Luar Negeri Indonesia melalui Kedutaan Besar RI di Tokyo.

Olahraga di Masa Pandemi

Namun demikian, optimisme itu tetap perlu diimbangi dengan beberapa pertimbangan yang mungkin bisa menghambat pengaruh positif dari diplomasi olahraga. 

Pandemi Covid-19 yang masih menyebar di berbagai negara memang tidak menghentikan berbagai kejuaraan atau pertandingan olahraga, termasuk kejuaraan Piala Sudirman ini. 

Pelaksanaan kejuaraan Piala Sudirman tidak sekedar perlambang dari perjuangan nasionalime dari masing-masing pemain dari berbagai negara. Yang lebih penting, Piala Sudirman 2021 juga lambang dari komitmen umat manusia untuk tidak kalah dari pandemi Covid-19.

Bagi kelompok pesimis, sebaliknya, diplomasi olah raga diyakini tidak akan mengubah struktur internasional yang konfliktual dan dilanda krisis Covid-19. 

Apa pun yang terjadi di Olimpiade-Paralympic 2020, Piala Sudirman 2021, dan berbagai pertandingan olahraga tidak bisa begitu saja menghilangkan ancaman strategis global. 

Persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan China selalu ada dan membayangi setiap peristiwa internasional. Struktur global atau regional dapat berpotensi menjadi penghambat bagi diplomasi olahraga untuk membangun perdamaian.

Pengalaman menjadi pelajaran yang sangat berharga. Perang Dingin, misalnya, telah menyebabkan tim Jerman Bersatu harus pecah menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur pada Olimpiade 1968-1988. Bahkan pada Olimpiade 1972 di Munich, tim Jerman Timur menjadi peserta di Jerman Barat untuk pertama kalinya. 

Bagi kedua Korea, pengalaman 3 kali olimpiade menjadi tim Korea Bersatu ternyata belum bisa menjadi modal bagi perdamaian hingga awal 2018 ini. Sementara itu, Piala Sudirman menjadi lambang perjuangan global melawan pandemi Covid-19.

Piala Sudirman menjadi salah satu contoh bahwa diplomasi tidak hanya merupakan 'arena bermain' milik diplomat atau politisi, namun telah melibatkan partisipasi berbagai instusi internasiona dan atlet berbagai negara atau masyarakat global. 

Walaupun ada keterbatasan, diplomasi olah raga melalui Piala Sudirman 2021 menjadi salah satu cara Indonesia dan dunia untuk menebar pengaruh positif di masa pandemi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun