Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

AUKUS, Kembalinya Kekuatan Global AS di Indo-Pasifik Melalui Strategi Burden Sharing?

22 September 2021   09:38 Diperbarui: 23 September 2021   05:30 1123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Amerika Serikat Joe Biden mendengarkan Perdana Menteri Australia Scott Morrison dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, ketika mereka mengumumkan pakta kerja sama di East Room Gedung Putih, Washington DC, 15 September 2021.| Sumber: AP PHOTO/Andrew Harnik via Kompas.com

Presiden Biden mengumumkan pakta pertahanan baru itu pada 15 September 2021 pada pertemuan secara virtual dengan Perdana Menteri (PM) Australia Scott Morrison dan PM Inggris Boris Johnson. 

Proyek kerja sama AUKUS ini bersifat sangat strategis. Australia menjadi negara kedua setelah Inggris memperoleh akses serupa di 1958, yaitu pembangunan kapal selam nuklir terbaru. 

Kehadiran kekuatan pakta pertahanan baru di kawasan dan rencana pembangunan mesin perang strategis kapal selam nuklir dipastikan bakal mengubah peta kekuatan di wilayah tersebut. 

Tidak ada keraguan bahwa pakta pertahanan segitiga itu ditujukan untuk mengimbangi peningkatan militer Cina di kawasan Indo-Pasifik, khususnya di wilayah sengketa klaim di Laut China Selatan (LCS).

Perkembangan itu dapat dianggap sebagai ancaman kekuatan baru bagi Beijing dan berbagai negara. Mereka dipaksa untuk memperhatikan detil dari pakta pertahanan itu dan dituntut memberikan respon secara jelas yang berujung pada kemungkinan terjadinya kerja sama dan bahkan, konflik di kawasan itu. 

Ketegangan di antara China dan AUKUS tidak akan terelakkan bakal terjadi di kawasan itu. Akibat lebih lanjutnya adalah kekhawatiran bahwa ancaman keamanan regional itu memprovokasi negara-negara di kawasan yang memiliki kepentingan di LCS dan Indo-Pasifik.

Sumber: tangkapan layar ABC/VOA via vpk.name
Sumber: tangkapan layar ABC/VOA via vpk.name

Kontroversi

Segera setelah diumumkan Presiden Biden, pembentukan Pakta Pertahanan AUKUS antara Australia, United Kingdom (Inggris) dan United States (Amerika Serikat/AS) memancing kontroversi di antara berbagai negara. 

Sumber kontroversi pertama adalah pembangunan kapal selam nuklir AS untuk Australia. Selanjutnya, kontroversi kedua adalah bahwa AUKUS dibentuk dengan tujuan utama mengimbangi peningkatan kekuatan militer China di Indo-Pasifik.

Beberapa negara segera memprotes keras pakta pertahanan segitiga itu. Keputusan ini seperti diduga memancing reaksi dari negara mendominasi aktivitas militer di wilayah perairan Indo Pasifik, yaitu China. 

Proyek jangka panjang kapal selam nuklir tentu dianggap China berpotensi menciptakan instabilitas politik kawasan yang telah terbentuk selama itu. Pakta pertahanan segitiga itu secara jelas mengganggu dominasi China dalam menjalankan aktivitas pertahanan di LCS. 

Pemerintahan Xi Jinping menyatakan bahwa (3 negara tersebut) akan merusak perdamaian, stabilitas, dan memicu perlombaan senjata (terutama dengan sumber energi atau berhulu ledak nuklir). Pakta pertahanan itu dikhawatirkan merusak komitmen internasional dalam upaya mengurangi (non proliferasi) nuklir internasional.

Prancis melancarkan protes keras dan menarik duta besarnya dari Canberra dan Washington, DC. Lalu, pemerintah China menganggap pakta itu justru menciptakan ketidakpastian keamanan di kawasan Indo-Pasifik. Bagi China, AUKUS dianggap memicu perlombaan senjata di kawasan itu.

Perbedaan sikap juga terjadi di antara negara-negara di Asia Tenggara. Mereka terpecah suaranya antara mendukung, menolak, dan bersikap diam saja. Singapura dan Malaysia yang tergabung dengan Australia, AS, dan Selandia Baru di dalam pakta Five Power Defence Arrangement (FPDA) secara jelas mendukung AUKUS. Apalagi kedua negara itu juga tergabung dengan Commonwealth States sebagai negara-negara bekas jajahan Inggris.

Meskipun demikian, Selandia Baru melarang kapal selam tersebut untuk memasuki wilayah perairannya. Pernyataan resmi ini disampaikan secara langsung oleh Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Arden. Selandia Baru tetap berkomitmen terhadap program internasional untuk non-proliferasi nuklir serta berupaya untuk tetap menjaga kestabilan di kawasan Indo Pasifik.

Sementara itu, organisasi regional di kawasan Asia Tenggara, yaitu ASEAN belum menunjukan responnya. Untuk kesekian kalinya, negara-negara anggota ASEAN tidak dapat menunjukkan kohesivitasnya, padahal AUKUS secara jelas mengancam sentralitas ASEAN. 

Kehadiran AUKUS ternyata tidak dapat menimbulkan sikap kolektif di antara negara-negara anggota ASEAN terhadap potensi ancaman regional. Padahal, pakta itu secara jelas berpotensi menempatkan Asia Tenggara sebagai medan persaingan antara AS dan China.

Burden Sharing

Yang menarik adalah bahwa pakta itu tidak dapat disangkal merupakan upaya baru AS untuk kembali ke kawasan Indo-Pasifik. Presiden AS Joe Biden seakan memberikan isyarat konkret mengenai niatannya itu melalui upaya mengembangkan kerja sama internasional AS dengan berbagai negara, termasuk di bidang pertahanan. 

Setelah menarik diri dari Afghanistan, AS menginisiasi pembentukan Pakta Pertahanan Baru itu di wilayah Indo Pasifik untuk menyaingi ekskalasi kekuatan dan aktifitas militer China di Laut China Selatan (LCS).

Namun demikian, kehadiran kembali kekuatan AS di kawasan ini tampaknya berbeda dengan posisinya masa lalu. Di masa Perang Dingin, AS mengembangkan diri sebagai negara hegemonik (hegemonic state) di Asia (Tenggara). Bagi AS, stabilitas pertahanan dan keamanan regional hanya dapat dicapai jika ada kekuatan atau negara hegemon atau hegemonic stability. 

AS yang bertindak sebagai negara hegemonik itu. Stabilitas itu dijamin oleh sebuah negara hegemonik, yaitu AS yang hadir dan menjadi payung pertahanan-keamanan bagi berbagai negara yang bersedia berada di bawah payung keamanan AS. Dalam kondisi itu, AS juga memberikan bantuan ekonomi kepada negara-negara itu. 

Sebaliknya, situasi sekarang sangatlah berbeda. Kekuatan ekonomi AS tidak seperti di masa lalu, sehingga AS harus berbagi beban (burden sharing) dengan Inggris dan Australia melalui pakta pertahanan segitiga AUKUS itu. 

Jika sebelumnya, AS pernah bergantung pada dukungan ekonomi Jepang untuk melancarkan intervensi pertahanannya di kawasan lain (misalnya Timur Tengah), maka sekarang AS berbagi beban dengan Inggris dan Australia.

Sementara itu, Australia dipimpin oleh PM Scott Morrison dari koalisi Partai Liberal yang sangat mengekor AS. Selain itu, Australia tampaknya menginginkan peran pertahanan yang berbeda dari masa sebelumnya sebagai bagian dari kerja sama negara itu dengan AS. 

Sedangkan Inggris baru saja menikmati kebebasannya dari Uni Eropa (dan mungkin NATO). Kemandirian Inggris dan jangkauan Commonwealth States-nya yang tampaknya dimanfaatkan AS secara strategis mendukung kehadirannya kembali di Indo-Pasifik.

Dengan strategi burden sharing ini, AS kembali menghadirkan kekuatan militernya di kawasan ini melalui Pakta Pertahanan AUKUS dengan berbagi beban dan peran dengan Inggris dan Australia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun