Namun demikian, kehadiran kembali kekuatan AS di kawasan ini tampaknya berbeda dengan posisinya masa lalu. Di masa Perang Dingin, AS mengembangkan diri sebagai negara hegemonik (hegemonic state) di Asia (Tenggara). Bagi AS, stabilitas pertahanan dan keamanan regional hanya dapat dicapai jika ada kekuatan atau negara hegemon atau hegemonic stability.Â
AS yang bertindak sebagai negara hegemonik itu. Stabilitas itu dijamin oleh sebuah negara hegemonik, yaitu AS yang hadir dan menjadi payung pertahanan-keamanan bagi berbagai negara yang bersedia berada di bawah payung keamanan AS. Dalam kondisi itu, AS juga memberikan bantuan ekonomi kepada negara-negara itu.Â
Sebaliknya, situasi sekarang sangatlah berbeda. Kekuatan ekonomi AS tidak seperti di masa lalu, sehingga AS harus berbagi beban (burden sharing) dengan Inggris dan Australia melalui pakta pertahanan segitiga AUKUS itu.Â
Jika sebelumnya, AS pernah bergantung pada dukungan ekonomi Jepang untuk melancarkan intervensi pertahanannya di kawasan lain (misalnya Timur Tengah), maka sekarang AS berbagi beban dengan Inggris dan Australia.
Sementara itu, Australia dipimpin oleh PM Scott Morrison dari koalisi Partai Liberal yang sangat mengekor AS. Selain itu, Australia tampaknya menginginkan peran pertahanan yang berbeda dari masa sebelumnya sebagai bagian dari kerja sama negara itu dengan AS.Â
Sedangkan Inggris baru saja menikmati kebebasannya dari Uni Eropa (dan mungkin NATO). Kemandirian Inggris dan jangkauan Commonwealth States-nya yang tampaknya dimanfaatkan AS secara strategis mendukung kehadirannya kembali di Indo-Pasifik.
Dengan strategi burden sharing ini, AS kembali menghadirkan kekuatan militernya di kawasan ini melalui Pakta Pertahanan AUKUS dengan berbagi beban dan peran dengan Inggris dan Australia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H