Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Putin dan Putinisme dalam Kebangkitan Kembali Kekuatan Global Rusia

16 September 2021   18:07 Diperbarui: 16 September 2021   18:08 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membicarakan politik luar negeri Rusia kontemporer tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan peran besar Presiden Vladimir Vladimirovich Putin. 

Latihan bersama militer Rusia dan Belarusia beberapa hari lalu, tetap bercokolnya Russia di Afghanistan dan Suriah, hingga pengaruh Rusia dalam terpilihnya Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) tentu saja harus melibatkan pemikiran Putin. 

Demikian juga, penanganan pandemi Covid-19, bantuan Rusia kepada Italia di pertengahan 2020 lalu, hingga keberhasilan Rusia dalam pembuatan vaksin Sputnik V menjadi bukti efektifnya kekuatan Putin di tingkat domestik dan internasional. 

Saking besar dan luasnya pengaruh Putin maka muncul istilah Putinisme. 

Putin dan Putinisme seakan telah menjadi semacam sistem politik di Rusia. Menurut Legvold (2018), istilah Putinisme merujuk pada ide, perilaku, dan emosi masyarakat Rusia mengenai negara-nya. Ide Putinisme tercermin pada semangat Rusia untuk membangkitkan kembali kejayaannya sebagai negara kuat, anti-Barat, dan konservatif, seperti Uni Soviet (US) di masa lalu. 

Putin dan Putinisme menjadi faktor strategis dalam pembuatan kebijakan luar negeri Rusia. Secara teoritis, pengaruh orang kuat (seperti kepala negara/pemerintahan) menjadi salah satu faktor domestik yang mempengaruhi perumusan politik luar negeri dari sebuah negara. 

Faktor domestik lainnya adalah kelompok-kelompok kepentingan (seperti partai politik, think-tank, atau lembaga swadaya masyarakat, dan lain-lain) dan struktur nasional (misalnya, sistem politik dan ekonomi, parlemen, lembaga yudikatif, militer, dan sebagainya. 

Dalam kebijakan luar negeri Rusia, faktor Putin dan Putinisme menjadi paling dominan dalam mengatur persepsi Rusia terhadap struktur internasional, berbagai kerjasama ekonomi, dan hubungan bilateralnya, termasuk dengan AS dan China.

Pertanyaan yang muncul, yaitu: bagaimana awal mula dan perkembangan Putin dan Putinisme? Bagaimana pengaruhnya terhadap kebangkitan kembali kekuatan global Rusia?

Asal-Usul
Di satu sisi, ide itu muncul sebagai solusi atas Rusia yang tidak lagi sekuat dan dihormati negara-negara lain seperti di masa kedigdayaan US. Ketika memerintah Rusia, Mikhail Gorbachev menerapkan kebijakan Glasnost dan Perestroika. Pada dasarnya, kedua kebijakan itu mendorong Rusia melakukan reformasi ekonomi dari ekonomi tertutup menjadi terbuka. Selanjutnya, Perestroika mengubah sentralisasi menjadi desentralisasi kekuasaan.

Di sisi lain, penerapan glasnost dan perestroika menyebabkan kehancuran struktur sosial, ekonomi, dan politik yang telah dibangun sejak Revolusi Bolshevik 1917. Kedua kebijakan Gorbachev bukannya meneruskan, namun justru memotong sistem ekonomi-politik sebelumnya.

Warisan ekonomi-politik Presiden-presiden sebelumnya langsung dipotong oleh Gorbachev, sehingga para pendukung reformasi merasakan kebebasannya. Patung-patung Vladimir Lenin, Josef Stalin, Leonid Brezhnev, Nikita Khrushchev, bahkan Karl Marx pun menjadi sasaran perusakan, seperti hancurnya tembok Berlin.

Bagi negara-negara Barat yang dipimpin AS, perkembangan baru di Rusia di masa Gorbachev sangat menguntungkan mereka. Rusia bukan lagi negara besar sekuat US yang mampu mengimbangi AS dan sekutu-sekutunya dalam rivalitas global. Apalagi pengganti Gorbachev, yaitu Boris Yeltsin, semakin menunjukkan liberalisasi ekonomi dan politik memberikan keuntungan bagi AS dan sekutunya.

Sebaliknya, kenyataan itu membuat kelompok-kelompok konservatif dan masyarakat yang kecewa dengan kehancuran US dan negara baru mereka, yaitu Rusia. Mereka berupaya keras melakukan resentralisasi pemerintahan dan kontrol lebih ketat kepada masyarakat.

Perilaku Putinisme tampak pada preferensinya terhadap kontrol, persatuan, dan loyalitas. Lalu, emosi Putinisme muncul pada pandangannya terhadap rasa hormat, penentangan, dan rasa takut. Oleh karena itulah, muncul pandangan bahwa Putin adalah Rusia dan Rusia adalah Putin.

Putinisme tak dapat disangkal menunjukkan sentralisasi kekuasaan ekonomi, politik, pertahanan, dan keamanan di Rusia berada di genggaman Putin. Sebagai sebuah sistem, kekuasaan Putin diwujudkan melalui lembaga-lembaga kepolisian, militer, dan intelijen yang tersebar di seluruh negeri.

Putinisme telah berakar kuat di Rusia sejak 1999. Akibatnya, kritik dan protes atas kebijakan Putin diyakini tidak akan mampu mengancam otoritas dan legitimasi pemerintahan Putin. Musuh politik terbarunya, yaitu pemimpin oposisi Alexei Navalny, diracun sebagai akibat dari kritiknya terhadap kepemimpinan Putin.

Putin bersikap sangat pragmatis dalam mengelola kekuasaan domestiknya. Semua kekuatan politik harus tunduk dan mengakui dominasinya. Hirarki, kontrol, dan loyalitas diterapkan Putin untuk menjamin keberlangsungan kekuasaaannya. 

Putin tidak mempersoalkan ideologi tokoh politik atau oligark Rusia, yang penting adalah penerimaan mereka terhadap Putin. Apalagi, latar belakang Putin sebagai mantan kepala FSB (bekas KGB) memperkuat lingkaran dalam kekuasaaanya.

Legitimasi politik domestik melalui Referendum 1 Juli 2020 semakin memperkuat kekuasaan Putin. Lebih dari 76 persen rakyat Rusia memperlihatkan soliditas dukungan politik mereka kepada Putin dalam mengatur negara.

Hasil referendum itu menunjukkan secara jelas bahwa rakyat Rusia memutuskan memberikan kekuasaan kepada Putin sebagai Presiden di Rusia. Referendum itu menunjukkan stabilitas kekuasaan horisontal Putin di masyarakat Rusia telah memastikan kontinuitas sistem politik domestik.

Politik Luar Negeri
Hasil referendum itu memberikan dukungan politik kepada Putin dalam politik luar negeri Rusia. Genggaman Putin atas kekuasaan pertahanan vertikal di Rusia telah menyediakan mekanisme jaminan dan akses politik untuk mewujudkan kemauan politiknya hingga 2036.

Keberhasilan Putin mengembalikan kejayaan Rusia sebagai kekuatan global menjadi prestasi yang diakui masyarakat Rusia. Pandemi Covid-19 dipandang tidak akan berpengaruh besar pada kontinuitas kekuasaan Putin yang telah dibangunnya selama 2 dekade ini.

Tidak tanggung-tanggung, Putin masih berkuasa di Kremlin hingga 2036. Setelah 21 tahun Putin menjadi Perdana Menteri dan Presiden, kekuasaannya di negara Beruang Putih itu masih berlanjut selama 15 tahun lagi.

Kekuasaan Putin ini hanya bisa disandingkan dengan Presiden China Xi Jinping. Walau dinyatakan berlanjut 6 tahun lagi, masih kuatnya cengkeraman Jinping di China masih membuka kemungkinan kekuasaannya berlanjut. Apalagi pandemi Covid-19 tampaknya makin menguatkan kontinuitas kekuasaan Jinping di China. 

Sementara itu, Presiden AS Donald Trump sudah diganti Presiden Joe Biden. Dari ketiga penguasa negara besar itu, Putin tentu saja yang paling berpeluang menorehkan pengaruh kekuasaannya pada tatanan dunia lebih lama.

Dalam konteks internasional, beberapa strategi dilakukan Putin agar negara-negara lain tetap berada di dalam lingkungan pengaruh (sphere of influence) Rusia. 

Pertama, menerapkan kebijakan multipolaritas. Dalam pandangan Putin, dunia tidak hanya didominasi AS, namun memiliki banyak pemain global. Ada China dan Rusia yang tetap perlu diperhitungkan negara-negara lain. 

Ini juga termasuk Inggris yang baru saja keluar dari Uni Eropa atau Brexit (British Exit). Satu hari yang lalu, Inggris meneken kerjasama AUKUS atau Australia, United Kingdom, and United States mengenai kapal selam nuklir. 

Kedua, konsekuensi dari kebijakan multipolaritas adalah keinginan Rusia bekerjasama dengan semua negara, selama kerjasama itu menguntungkan Rusia. Dengan cara ini, Rusia ikut dalam kerjasama ekonomi APEC (Asia Pasific Economic Cooperation, BRICS (Brazilia, Russia, India, China, and South Africa), SCO (Shanghai Cooperation Organization), dan EaEU (Eurasian Economic Union). Rusia juga ikut di dalam NATO sebagai pengamat dalam NATO untuk mengetahui sepak terjang organisasi itu dalam memperluas keanggotaannya hingga ke Ukraina.

Ketiga, Rusia memberikan bantuan kepada semua negara. Salah satu bentuk riil-nya adalah bantuan kesehatan Rusia kepada Italia pada saat pandemi sedang tinggi-tingginya di negeri itu. 

Bantuan itu menimbulkan kontroversi dan protes di kalangan negara anggota NATO. Mereka mencurigai niatan Rusia membantu Italia sebagai bentuk spionase terhadap pangkalan NATO yang ada di negara itu.

Keempat, Rusia memanfaatkan vaksin Sputnik V untuk kepentingan geopolitik dan geoekonomi-nya. 

Walaupun kepentingan itu tidak sedominan AS dan China, diplomasi vaksin Sputnik V menempatkan Rusia sebagai salah satu negara yang memberikan vaksin ke berbagai negara. 

Produsen dan pasokan vaksin global tidak dikuasai AS dan sekutunya, China, namun juga ada Rusia.

Keempat strategi itu menunjukkan bahwa Putin memiliki peran besar dalam menentukan politik luar negeri Rusia. Tujuan utama untuk mengembalikan kejayaan kekuatan global Rusia telah tercapai, walaupun pola penguasaan global Rusia berbeda dari Uni Soviet di masa Perang Dingin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun