Masalah dasarnya adalah perilaku negara-negara di kawasan ini menanggapi rivalitas AS dan China. Dalam tiga tahun terakhir ini, rivalitas kedua negara besar itu di kawasan Asia Tenggara terletak pada konflik klaim China terhadap Laut China Selatan (LCS) dan pandemi Covid-19, termasuk vaksin Covid-19. LCS adalah isu regional antara China dengan beberapa negara anggota ASEAN. Sedangkan Covid-19 merupakan masalah kesehatan global yang memantik respon berbeda di antara negara-negara di kawasan ini.Â
Kedua isu itu menunjukkan perilaku negara-negara dalam meresponnya. Di isu LCS, Indonesia tetap menjadi non-claimant state. Posisi Indonesia sangat berbeda dengan Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam yang berkonflik langsung dengan klaim China di LCS. Dalam konflik itu, keempat negara anggota ASEAN itu cenderung meminta dukungan AS. Di antara ke-4 negara itu, Brunei yang paling tidak kelihatan dukungannya ke AS atau China.
Walaupun bukan negara pengklaim LCS, Indonesia terlibat aktif dalam penyelesaian krisis konflik klaim di LCS itu. Indonesia sering meminta AS dan China tidak menempatkan kawasan Asia Tenggara sebagai wilayah konflik. Indonesia juga menuntut negara-negara lain di ASEAN agar menempatkan sentralitas ASEAN dan menjadi tuan rumah di kawasan ini.
Sementara itu, Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara juga berbeda responnya terhadap pandemi Covid-19. Indonesia cenderung mendekat ke China untuk jaminan supply vaksin Covid-19 dari Sinovac. Selain itu, Indonesia juga membeli vaksin dari negara-negara lain, seperti Moderna dan Astrazeneca. Jika tidak salah, Indonesia juga akhirnya memberikan ijin edar bagi vaksin Sputnik V Rusia. Seperti Indonesia, beberapa negara anggota ASEAN juga cenderung bergantung pada China, seperti Laos, Kamboja, dan Filipina. Sedangkan Singapura dan Malaysia lebih ke AS.Â
Respon negara-negara itu terhadap kedua isu penting itu ternyata secara tidak langsung dikaitkan dengan dukungan mereka terhadap rivalitas AS dan China di Asia Tenggara. Walaupun tidak sepenuhnya linier dalam pengertian bahwa sebuah negara, termasuk Indonesia, memasok vaksin dari berbagai negara. Malaysia, misalnya, juga memasukkan vaksin dari China.
Selain itu, seorang peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelaskan kemungkinan bahwa AS mempersoalkan netralitas Indonesia dalam berbagai isu regional dan internasional. Sikap netral Indonesia dalam rivalitas pengaruh AS dan China di LCS ternyata tidak tampak pada isu vaksin Covid-19 yang dianggap lebih ke China.Â
Walaupun kenyataan juga menunjukkan sepak terjang Indonesia dalam mendorong diplomasi multilateral vaksin bagi semua penduduk di dunia. Kiprah diplomasi Indonesia bisa dianggap sebagai menjauh dari AS.
Yang menarik lagi, peneliti itu menunjukkan bahwa netralitas itu ternyata ditemukan di figur Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong. Presiden AS Joe Biden mungkin memandang netralitas itu pada senioritas PM Singapura ketimbang Presiden Joko Widodo, misalnya, atau pemimpin negara lain di kawasan ini.
Kemungkinan bahwa kunjungan Wapres Harris tidak sepenting kunjungan Presiden Biden dan kemungkinan netralitas Indonesia mungkin dapat menjadi jawaban atas tidak mampirnya Wapres AS itu ke Indonesia.
Tentu saja masih ada banyak kemungkinan lain untuk menjawab kunjungan Haris ke Singapura dan tidak mampir ke Indonesia. Kemungkinan-kemungkinan lain bisa berdasarkan dimensi nasional masing-masing negara, misalnya, di Asia Tenggara. Pertanyaan seerti judul di atas juga dapat diajukan oleh Filipina, Thailand, dan negara lainnya.
Meskipun demikian, analisis mengenai kunjungan Wapres AS itu tetaplah penting dan menarik. Tujuan utamanya adalah melihat sejauh mana sebuah fenomena selalu berkaitan dengan yang lainnya dalam hubungan internasional. Kenyataan mengenai adanya jawaban lain yang mungkin lebih benar tentu saja bisa ditinjau dari perspektif lain dan menjadi inspirasi bagi munculnya tulisan-tulisan lainnya.