Genderang 'perang' di antara politisi mulai dipukul bertalu-talu lewat 'pameran' baliho di pinggir jalan di berbagai kota di Indonesia. Begitu kebeletnya para politisi itu ingin meraih kekuasaan eksekutif tertinggi di negeri +62 ini. Seolah negeri ini sedang ayem tentrem karta raharjo plus gemah ripah loh jinawi. Padahal situasi pandemi kini seharusnya mendorong empati para politisi itu kepada rakyat.
Ada baliho ketua DPR RI dan petinggi PDIP, Puan Maharani, dengan baliho 'Kepak Sayap Kebhinnekaan'. Baliho AHY dari partai Demokrat bertuliskan 'Nasionalis Religius'. Tidak ketinggalan, ketua satgas Covid dan ketua Partai Golkar, Airlangga Hartarto menyebarkan baliho dengan tulisan '2024'. Tulisan yang sama juga ada di baliho Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhamin Iskandar.Â
Walau tanpa tulisan '2024', 'Mimpi Jadi Presiden'-nya Ahmad Syahroni, atau 'Giring untuk Presiden 2024', baliho-baliho itu menjadi bentuk luapan ambisi politik mereka untuk pemilihan presiden di 2024. Anggapan itu tidak dapat disangkal dan, pada kenyataanya, tidak disanggah oleh para politisi itu.Â
Pro dan Kontra Baliho-isasi
Setelah baliho-isasi berlangsung muncul banyak protes dan, pastinya juga, dukungan. Bahkan lebih banyak protes dan kritikan ketimbang dukungan terhadap baliho-baliho politik itu. Para pendukung (baliho) politisi itu mengklaim bahwa politik baliho masih relevan dengan kenyataan keseharian kita. Walau pandemi, masih banyak orang berlalu lalang di jalanan akan melihat baliho itu dengan kebangggaan kelompoknya.
Pendukung lain mengungkapkan aspek ekonomi dari baliho yang bertebaran itu di seantero Republik ini. Di masa pandemi dengan situasi ekonomi melambat, maka baliho-baliho itu bermakna ekonomis. Banyak pihak mendapat keuntungan, seperti para pembuat baliho, pemilik transportasi, dan berbagai pihak termasuk pemerintah daerah. Kegiatan pemasangan dan perijinan baliho itu juga memberikan pekerjaan di masa pandemi ini.Â
Sementara itu, para pengkritik menganggap bahwa para politisi itu tidak memiliki empati di masa pandemi ini. Ketika sebagian besar masyarakat dihadapkan pada berbagai persoalan akibat pandemi, para politisi dianggap justru menebar uang demi menangguk popularitas mereka. Politisi itu dipandang egois. Mereka dipandang lebih mengutamakan kepentingan mereka sendiri ketimbang masyarakat luas.
Yang menyesakkan adalah tidak ada baliho politisi itu yang menunjukkan empati atau dukungan mereka kepada masyarakat Indonesia dalam melawan pandemi Covid-19. Para politisi itu seolah hidup dalam ruang dan waktu mereka sendiri:)
Karir politisi
Walaupun memahami kepentingan para politisi itu untuk mencuri-curi start kampanye, namun baliho-isasi itu tidak sesuai dengan konteks masa pandemi ini. Pameran baliho itu sudah tidak sesuai jaman lagi. Sebaliknya, saya melihat maraknya pameran baliho itu sebagai kehendak individu untuk peningkatan karir politik mereka sendiri.
Kekuasaan yang mereka miliki pada saat ini secara telanjang telah membuat para politisi itu untuk sekedar menambah karir politiknya. Seorang politisi tidak mungkin lagi bersikap voluntari atau cuma-cuma. Apa lagi kalau bukan peningkatan karir politik itu.
Seolah-olah jabatan politik harus meningkat setiap lima tahun. Dari walikota, gubernur, lalu menjadi anggota legislatif atau menteri, bahkan berkeinginan menjadi presiden. Jabatan publik itu menjadi semacam karir semata.Â
Bukannya berlomba-lomba dalam menebar kebaikan di masa pandemi ini, mereka ternyata cuma berkalang egoisme politik semata. Mereka adalah politisi masa lalu. Politisi yang dibesarkan oleh otoriterisme Orde Baru dengan segala kekakuan sikap dan tanggapan terhadap perubahan politik dunia. Karir politik semata dimaknai dengan jabatan Presiden.
Politisi belajar
Masa pandemi ini seharusnya dan sepatutnya mendorong para politisi itu untuk belajar. Belajar apa? Mereka perlu belajar untuk berubah. Para politisi harus belajar dari perubahan kenyataan di depan mata mereka. Kita semua berada di tengah-tengah pandemi dengan segala konsekuensinya.
Kenyataan yang tidak bisa dibantah bahwa pemerintah di berbagai tingkatan (nasional, provinsi, kabupaten, dan seterusnya) terseok-seok menanggulangi pandemi Covid-19. Partai politik penguasa yang berbeda di berbagai provinsi dan kabupaten ternyata tidak mampu berkoordinasi mangatasi Covid-19. Pandemi sebagai persoalan kesehatan luar biasa itu hanya ditangani dengan model institusi lama. Akibatnya, korban Covid-19 tidak semakin berkurang, tapi selalu naik-turun.
Sementara itu, para politisi baliho itu bukannya mengulurkan tangan. Mereka malah meminta masyarakat mrmberikan perhatian kepada para politisi. Bukannya mendatangi dan membantu masyarakat, para politisi itu malah meminta bantuan masyarakat.
Jaman pandemi ini mengajarkan kita semua bertindak secara daring. Protokol kesehatan yang ketas perlu dimaknai dengan pembaruan cara-cara berpolitik.Â
Beberapa hal ini perlu dilakukan oleh para politisi, baik mereka yang berada di dalam maupun di luar pemerintahan. Menunjukkan komitmen dukungan para politisi terhadap upaya penanggulangan Covid-19; mengurangi kehadiran mereka melalui baliho-baliho jalanan itu, tetapi, sebaliknya, mendekatkan diri mereka kepada masyarakat; mengurangi hoaks yang cenderung menciptakan disinformasi dan misinformasi mengenai penanganan Covid-19; meningkatkan kehadiran virtual para politisi melalui berbagai media sosial berkaitan dengan penanggulangan Covid-19 adalah beberapa tawaran cara berpolitik di masa Covid-19 ini.Â
Cara atau strategi bisa dilakukan dengan mendukung atau mengkritik kebijakan pemerintah. Cara-cara menolak vaksinasi, misalnya, perlu dihindari mengingat vaksinasi sudah merupakan keharusan untuk mencegah resiko terkena dan penyebaran Covid-19.Â
Dengan berbagai cara itu, baliho-isasi politik dapat diminimalisasi dan diubah menjadi kerja nyata bersama masyarakat.
Kelima hal di atas bukanlah sesuatu yang baru dalam perpolitikan kita di Indonesia. Masih banyak hal yang tentu saja bisa dilakukan oleh para politisi untuk memperbarui strategi politiknya di jaman Covid-19 ini. Semoga saja para politisi itu masih bisa mengubah diri mereka dalam berpolitik di jaman Covid-19 ini.
Yang pasti, baliho politisi itu sudah tidak perlu lagi dan ketinggalan jaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H