Sebaliknya, dilema kedua berkaitan dengan aspek positifnya, yaitu peran sentral ASEAN. Peran ini menjadi semacam jendela kesempatan baru bagi sentralitas ASEAN Di kawasan ini. Selain itu, peran ini memungkinkan ASEAN menjaga stabilitas keamanan regionalnya.
Kedua dilema itu menyebabkan ASEAN tertatih dalam menyelesaikan ketiga rangkap tugas regional itu. Kebimbangan ASEAN bersikap tegas ternyata berakar pada perbedaan pandangan dan dukungan terhadap kedua negara besar itu.Â
Sementara itu, kenyataan bahwa ASEAN memiliki kesempatan yang terbuka luas ternyata tidak dapat dimanfaatkan dengan baik. Sentralitas ASEAN dalam perannya menyelesaikan berbagai persoalan regional tampaknya hanya terbatas pada sikap bersama di meja-meja perundingan. Padahal sikap bersama saja tidak cukup dan perlu dilanjutkan dengan tindakan kongkrit. Sayangnya, tindakan kongkrit dari negara-negara anggota ASEAN ternyata berbeda satu sama lain dan berbeda antara di meja perundingan dan di lapangan.
Rangkap tugas regional itu ternyata justru menunjukkan perbedaaan dan perpecahan ketimbang kohesivitas dan kolektivitas ASEAN itu. Di usia ke-54, organisasi regional itu masih tertatih dalam menyelesaikan rangkap tugas regionalnya.
Harapan tentang perbaikan dalam mekanisme regional untuk menyelesaikan berbagai masalah kawasan tentu saja sangat diharapkan. Upaya merawat harapan itu perlu diupayakan oleh ke-10 negara anggota ASEAN dan dua negara besar itu agar ASEAN tetap menjalankan sentralitasnya di Asia Tenggara.Â
Kenyataan bahwa rangkap tugas itu membuat ASEAN tertatih-tatih tentu saja bukan merupakan alasan bagi tidak perlunya ASEAN di kawasan ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H