Untuk apa menulis? Apakah menulis itu sekedar untuk memiliki tulisan? Asal mengeluarkan uneg-uneg? Mendapatkan hadiah? Meraih centang biru bagi Kompasianer? Atau agar tulisannya menarik untuk dibajak media online lain? Yang terakhir itu pasti bukan menjadi alasan atau tujuan menulis.
Ada banyak alasan, tentu saja, yang dimiliki oleh setiap orang untuk menulis. Tulisan ini tidak hendak mengaitkan pertanyaan 'untuk apa menulis' dengan hal-hal filsafat(i). Tulisan ini sekedar mengudar rasa. Sekedar menguak gejolak rasa kelu dan ngilu dari penulis.
Begitu juga, ada banyak harapan dari kegiatan tulis-menulis. Ibarat sebuah pendulum, penulis berada di tengah-tengah di antara dua ujung. Salah satu ujung pendulum itu adalah alasan. Ujung lainnya adalah harapan. Ada asal dan tujuan. Seperti ada alfa dan omega:)
Keduanya memberi motivasi bagi penulis. Motivasi itu mendorong penulis mencorat-coretkan pemikirannya tentang sesuatu yang dilihat, dirasa, diraba, dan seterusnya. Tanpa motivasi itu, alasan dan harapan tetaplah menjadi ekspresi semata. Oleh karena itu, tulisan menjadi bukti konkrit dari alasan dan harapan itu. Bukti dalam bentuk hitam-putih.
Menuliskan harapan tentu saja bukanlah pekerjaan yang mudah. Berbagai lika-liku persoalan yang dihadapi seorang penulis telah membuat kegiatan menulis itu penuh dinamika. Harapan yang dinamis tentang berbagai keinginan yang penulis mau lakukan, capai, dan miliki dalam sebuah kurum waktu tertentu.
Lalu, apa saja harapan-harapan yang hendak ditulis? Menuliskan harapan tidak bisa dibiarkan melebar ke berbagai topik-topik. Perlu ada kendali terhadap harapan yang terkadang liar. Agar tetap fokus, harapan itu harus dibatasi tetap berada di dalam garis-garis demarkasi kegiatan menulis.
Pertama, harapan meraih ketenangan hati/jiwa. Ada rasa lega ketika seorang penulis menyelesaikan tulisannya. Setelah dikirim ke media online atau offline, penulis itu pun melanjutkan ritual personal branding-nya dengan menulis lagi.
Setiap selesai menulis, dia pun merasa gelisah atau, malah, termotivasi untuk menulis lagi. Menulis pun menjadi semacam siklus ritual bagi penulis, sehingga menjadi kegiatan yang teratur.
Kedua, ada harapan bahwa tulisannya memiliki nasib 'baik.' Maksudnya adalah tulisan itu memperoleh pembacanya sendiri. Setiap tulisan memang memiliki nasibnya sendiri. Begitu juga (keinginan) penulis terhadap tulisannya itu.
Ukuran 'baik' bagi tulisan itu pun berbeda-beda. Bagi seorang penulis optimis, dia selalu berharap tulisannya dibaca sebanyak mungkin pengunjung blog atau media tujuan tulisan itu. Namun demikian, ukuran-ukuran sebaliknya berlaku bagi penulis yang pesimis. Penulis terakhir ini bermazhab 'dibaca sukur, nggak dibaca ya tak apa.' Anda termasuk yang mana?