Begitulah kenyataannya. Setelah putus hubungan, saya menjadi semakin sehat dan bisa menulis lagi. I'm back! Ini tidak berarti saya tidak bisa menulis sebelum memiliki hubungan istimewa. Namun, hubungan itu memberikan kebugaran saja. Badan terasa lebih bugar dan segar.
Meski begitu, putus hubungan ternyata benar-benar menyakitkan. Jika anda tidak kuat mengalami rasa sakitnya, biarlah saya saja yang menanggungnya:) Berhari-hari saya merasakan pusing kepala, sesak nafas, badan membuncit, dan gampang capek.
Kebetulan saja, ada keharusan bekerja dari rumah ini. Mengajar secara daring, tanpa perlu ke kampus membuat saya lebih banyak di rumah. Ditambah lagi dengan meningkatnya pandemi, sehingga keberadaan di rumah mempermudah pemulihan dari sakitnya putus hubungan itu.
Apalagi salah satu akibatnya adalah tidak bisa menulis. Pusing mengharuskan saya lebih banyak tidur(an) setelah minum obat. Jadinya, saya kesulitan untuk menulis. Hingga saat sebelum menulis ini, saya berpikir kesehatan menjadi prioritas daripada menulis.
Sebelum putus hubungan ini, saya sudah meninggalkan diary ini demi menulis topik-topik lainnya. Lalu selama hampir sebulan hingga tulisan ini tayang, akun Kompasiana ini dipaksa kosong, tanpa tulisan. Komitmen satu artikel satu hari harus hangus menjadi angan-angan.
Baru hari ini, saya memberanikan diri menulisi diary ini lagi. Sekali lagi, pusing kepala memang menjadi penyebab utamanya. Ketika pusing itu menjauh, saya meraih hape dan segera menulis. Ada semangat untuk menulis lagi. Pengalaman beberapa Kompasianer yang tetap menulis ketika sakit juga turut menyemangati saya.
Apa yang terjadi ketika hubungan masih baik? Saat mengingat masa indah hubungan itu, kenangan yang muncul tentang badan yang terasa nyaman, leluasa, dan bugar. Rasanya seperti mahasiswa. Dua hari badan ini bisa tidak perlu tidur demi memanfaatkan hubungan baik itu.
Sebagian manfaat lainnya adalah membaca lebih banyak tulisan Kompasianer dan bacaan lain. Bacaan itu menjadi ide untuk menulis opini, paper akademik dan seterusnya. Ketika mulai menulis di Kompasiana di bulan Oktober 2020 hingga sebulan yang lalu, hubungan masih baik-baik saja.
Jika diingat-ingat awal mula hubungan itu juga membingungkan. Entah kapan pertemuan itu terjadi. Yang teringat hanyalah betapa hubungan baik itu memberikan tenaga untuk menulis.
Celakanya, hubungan yang terasa baik dan manis selama ini ternyata menyakitkan. Istilah populernya adalah toxic ata toksik. Awalnya saya tidak percaya. Lha wong badan saya sehat. Bahkan, badan menggemuk pun tidak saya anggap sebagai masalah selama badan ini terasa sehat.
Lalu, seorang karib pun menyapa saya. Dia menyadarkan situasi yang sebenarnya di badan saya ini. Kebugaran selama ini ternyata hanya semu. Rasa sehat itu bukan kondisi badan yang sebenarnya.
Hubungan baik itu ternyata menyakitkan. Lalu, saya harus mengalami saat-saat badan tidak nyaman itu. Siapa menyangka, manfaat positif dari hubungan baik itu disertai dengan kerusakan bagian lain.
Tidak ada cara lain, kecuali putus hubungan demi badan sehat dan bisa menulis lagi. Ini bukan hubungan saya dengan orang lain, tapi saya putus hubungan dengan minuman herbal atau jamu.
Situasi yang tidak mengenakkan ini menjadi pelajaran penting bagi saya. Saya pun menjadi lebih berhati-hati dengan jamu. Ini hanya terjadi pada kasus hubungan saya dengan jamu itu saja.Â
Tentu saja masih ada 'obat' herbal atau jamu-jamu lain yang bagus, bermanfaat, dan memberi manfaat kesehatan. Intinya adalah hati-hati terhadap apa pun, terutama yang masuk ke dalam badan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H