Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengatasi 3 Masalah yang Biasa Terjadi Ketika Berusia 25 Tahun

18 Mei 2021   12:58 Diperbarui: 18 Mei 2021   16:00 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Krisis 25 tahun (Sumber: istockphoto.com)

Semakin modern sebuah zaman, semakin kompleks persoalan yang dihadapi manusia. Lalu, banyak penelitian dilakukan untuk mencari tahu asal-usul dari persoalan itu dan cara-cara menghadapinya, termasuk masalah quarter life crisis atau krisis hidup seperempat abad.

Berbagai studi menunjukkan orang di usia di sekitar 25 tahun-an lebih mudah dihinggapi krisis kepercayaan diri atau kekhawatiran menghadapi masa depan. Lalu, orang-orang itu dianggap mengalami krisis hidup seperempat abad.

Dalam krisis hidup itu, seseorang biasanya mereka akan merasa tidak memiliki arah (disorientasi), khawatir, bingung, dan galau akan kehidupannya di masa datang. Kekhawatiran ini  bisa muncul secara nyata dalam masalah relasi sosialnya dengan orang lain, termasuk di dalam keluarga.

Bagi orang Indonesia, usia 25 tahun (atau di sekitarnya) pada umumnya menjadi titik awal (point of departure) untuk menentukan masa depannya. Pengertian mengenai titik awal ini berkaitan dengan waktu yang tepat untuk mengambil keputusan penting bagi kehidupannya.

Lalu, para pemilik usia 25 tahun itu secara alamiah diminta untuk menentukan prioritas hidupnya. Ada tuntutan sosial (termasuk di tingkat keluarga) agar mereka memilih prioritas bagi masa depannya.

Ada 3 masalah yang secara umum sering mengganggu pikiran orang-orang berusia 25 tahun di zaman modern ini, antara lain:

1. Pekerjaan
Pada usia itu seseorang biasanya baru saja lulus kuliah sarjana S1 atau bahkan magister S2. Mereka ini diharapkan pada tantangan untuk segera bekerja. Jika tidak bekerja, mereka hanya memiliki status sebagai pengangguran. 

Situasi terakhir ini selalu membuat galau para pemilik usia 25 tahun mengingat periode waktu untuk mengubah nasib dari status penganggur menjadi pekerja itu berbeda untuk setiap orang. Beberapa orang mungkin bekerja di perusahaan atau memulai bisnis start up. 

Usia 25 tahun itu dianggap sebagai masa transisi menjadi orang dewasa. Pekerjaan menjadi salah satu dari banyak tantangan, pikiran, dan tuntutan yang harus dihadapi oleh 'penderita' quarter life crisis.

2. Pernikahan
Sementara itu, penyebab lain dari krisis usia seperempat abad adalah pernikahan. Biasanya pemilik usia produktif di 25 tahunan itu akan menikah secara alamiah atau dipaksa oleh struktur sosial-budaya di mana dia tinggal. 

Apalagi ketika pemilik usia itu sudah bekerja atau mapan, maka tidak ada lagi tahapan hidup selanjutnya yang harus ditapaki, kecuali menikah atau berkeluarga. Alasan keuangan yang belum cukup dan lain-lain seringkali disisihkan demi memenuhi hasrat struktur sosial-budaya. 

Dalam konteks sosial-budaya tertentu, keterlambatan dalam menikah bakal menimbulkan persoalan. Masalahnya adalah bahwa persoalan itu tidak semata pribadi dari pemilik usia 25 tahun itu, namun juga berpotensi menjadi persoalan keluarga. 

3. Studi lanjut
Berbeda dengan zaman dulu, generasi muda sekarang memiliki peluang tambahan, yaitu studi lanjut. Peluang studi lanjut ini sebenarnya juga sudah ada pada zaman dulu.

Buktinya, ada banyak orang yang studi lanjut di berbagai kampus di luar negeri. Di awal-awal kemerdekaan, banyak orang Indonesia belajar di Belanda sebagai bagian dari kolonialisme Belanda. 

Lalu, di masa Presiden Sukarno, para pemuda Indonesia melanjutkan studi ke Uni Soviet dan negara-negara satelitnya di Eropa Timur. 

Di masa Orde Baru, studi lanjut dari generasi muda Indonesia diarahkan ke Amerika Serikat, dan seterusnya. 

Kini, orang Indonesia telah tersebar ke berbagai negara untuk melanjutkan studi. Peluang ke berbagai negara tujuan studi lanjut dan ragam beasiswa semakin banyak dan variatif. 

Akibatnya, semakin banyak pula pemilik usia 25 tahun itu lebih memilih studi lanjut terlebih dahulu ketimbang menikah dan bekerja. Posisi sosial dari studi lanjut pun bisa dianggap setara dengan bekerja dan menikah.

Lalu, sebaliknya yang mana yang dilakukan terlebih dahulu oleh seorang yang berusia 25 tahun? 

Prioritas dalam memilih itu diperlukan untuk meringankan quarter life crisis. Beberapa pertimbangan tampaknya sangat penting untuk dipikirkan sebelum memutuskan salah satu persoalan diselesaikan ketimbang lainnya. 

Krisis 25 tahun (Sumber: istockphoto.com)
Krisis 25 tahun (Sumber: istockphoto.com)
Pertama, faktor waktu
Ketiga pilihan ini bisa dijalani dalam jarak waktu yang lama atau pendek. Situasi setiap orang memang berbeda, sehingga pertimbangan waktu ini tidak bisa begitu saja dipakai oleh semua orang. 

Seorang berusia 25 tahun bisa secara lebih mudah memilih studi lanjut karena mendapat beasiswa. Di saat yang sama, orang itu belum memiliki pacar dan masih menunggu hasil dari lamaran pekerjaan. Bagi orang ini, pekerjaan dan pernikahan bisa dilakukan setelah selesai studi lanjut.

Kedua, faktor peluang atau kesempatan
Sejauh mana masalah bekerja atau menikah atau studi lanjut itu menjadi peluang satu-satunya? 

Jika tidak diambil, apakah akan berakibat berat bagi pemilik usia itu dan/atau keluarga? Jika tidak ada risiko, maka masih ada keleluasaan untuk mengambil pilihan lain.

Ketika seseorang lebih memilih studi lanjut, kawannya lebih memilih menikah. Pertimbangannya adalah karena sudah memiliki pekerjaan, walau baru bekerja selama 2-3 tahun.

Kedua faktor itu bisa menjadi pertimbangan umum untuk menentukan masalah mana yang akan diselesaikan terlebih dahulu.  Bagi pemilik usia 25 tahun, kemampuan untuk memilih prioritas itu akan menghindarkan mereka dari krisis hidup seperempat abad.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun