Membaca dan menulis itu ibaratnya adalah saudara kembar. Selalu bersama dan sulit dipisahkan. Tanpa membaca, tulisan seakan tanpa bobot isi. Tulisan hanya mengawang-awang saja tanpa ada 'rasa' dari penulis.
Sebaliknya, membaca dapat memberikan roh atau makna tertentu mengenai sebuah isu berdasarkan bacaan-bacaannya selama ini. Melalui berbagai bacaan, seseorang dapat memilih dan memiliki sudut pandang tertentu untuk 'membaca' sesuatu.
Begitu juga sebaliknya. Tanpa menulis, kegiatan membaca akan terasa seperti memuaskan ego pribadi saja. Kekayaan seseorang mengenai berbagai macam informasi yang dibacanya hanya dipakai sendiri, sehingga tidak ada nilai tambahnya bagi orang lain.Â
Padahal dengan membaca, seseorang memperoleh kebebasan untuk memahami isi pikiran dari para penulis lain. Membaca sebenarnya adalah proses memulai menulisi pikiran mereka dengan berbagai dinamika kehidupan dari luar dirinya.
Kemampuan seseorang membaca itu perlu seimbang dengan kemauannya untuk membagikan berbagai rasa membaca itu dengan cara menulis. Menulis adalah salah satu cara untuk berbagi informasi atau pengetahuan kepada orang lain.
Melalui penjelasan itu, ada tiga manfaat penting dari kegiatan membaca dan menulis.
Pertama, membaca itu seperti mengumpulkan bahan atau materi sedikit demi sedikit. Lalu, menulis ibarat menyampaikannya dalam bentuk hitam dan putih. Melalui berbagai bacaan, seserang dapat memperoleh banyak informasi secara acak atau tidak beraturan mengenai sesuatu hal.Â
Selanjutnya, kita dapat membuat pengelompokkan atau kategoriasi mengenai isu atau masalah tertentu itu. Pengelompokkan dapat dilakukan dalam bentuk persamaan, perbedaan, komparasi, atau paradoksnya melalui berbagai tulisan. Dengan menuliskan pengelompokan itu, seorang penulis dapat menghasilkan pemetaan masalah yang juga dapat dibagikan kepada orang-orang lain.
Satu contoh menarik adalah penjelasan mengenai penyebab jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Suharto pada Mei 1998. Dari berbagai bacaan, penyebab mengenai jatuhnya rezim Suharto dapat dibagi menjadi dua kelompok umum, yaitu penyebab domestik dan penyebab internasional.Â
Dengan mengikuti alur manfaat pertama ini, bacaan mengenai penyebab domestik merujuk pada beberapa sebab, yaitu kesulitan ekonomi, tuntutan reformasi mahasiswa, perpecahan di tubuh elit politik, friksi di dalam TNI, dan seterusnya. Sedangkan, penyebab internasional bisa diarahkan pada mobilitas kapital keluar dari Indonesia, kebijakan IMF, tekanan berbagai negara, dan lain-lain.Â
Contoh mengenai lengsernya Suharto itu ternyata mendorong banyak analisa mengenai penyebabnya. Sekali lagi, berdasarkan manfaat pertama ini, maka berbagai penyebab itu dikelompokkan menjadi penyebab domestik dan internasional.
Â
Kedua, membaca itu seperti mewarnai pikiran kita dan, selanjutnya, menampilkannya tanpa kehilangan pandangan kita sendiri. Membaca menambah pengetahuan kita dari banyak sudut pandang berbeda. Dari banyaknya pandangan itu, kita dituntut untuk bisa memilih posisi kita mengenai sebuah isu atau masalah tertentu. Manfaat kedua ini merupakan kelanjutan dari yang pertama. Bacaan tidak sekedar mendorong pembaca melakukan pemetaan masalah, namun secara lebih lanjut juga menjelaskan posisi-nya melalui tulisan.Â
Tidak menjadi persoalan apakah penulis itu setuju atau menolak mengenai sebuah persoalan. Namun yang lebih penting adalah bahwa pendapat setuju atau menolak itu perlu disertai data. Tanpa data yang jelas dan reliable, pendapat itu hanya asumsi tanpa dasar.
Dengan memakai contoh yang sama, pembaca lain misalnya menemukan banyak data yang membuat pembaca itu berpandangan bahwa penyebab domestik dan internasional itu tidak bisa berdiri sendiri dalam menjatuhkan pemerintahan Orde Baru. Pembaca ini bisa saja menamakan penjelasannya yang berbeda itu dengan nama intermestik atau internasional-domestik.
Manfaat ketiga. Semakin banyak pengalaman dalam membaca dan menulis dapat menjadikan seseorang memiliki pengetahuan (knowledge). Bahkan dalam tahapan akademik tertentu, seseorang dengan pengalaman di bidang tertentu dapat menghasilkan otoritasi di bidang tertentu. Misalnya, pakar yang authoritative mengenai politik Indonesia bisa menunjuk pada Vedi Hadiz (oligarki), Ariel Heryanto (pop culture), Azumardi Azra (Islam dan politik), dan seterusnya. Hal yang sama juga bisa diterapkan di bidang-bidang lain, baik untuk pakar Indonesia maupun orang asing (Indonesianist)
Dari tiga manfaat itu, seseorang yang terbiasa membaca dan menulis mendapatkan banyak hal yang tidak ternilai. Ada kata-kata bijak soal ini, yaitu: knowledge is power (pengetahuan adalah kekuasaan). Maksudnya, pengetahuan adalah sumber bagi kekuasaan, seperti harta, tahta, dan senjata. Namun demikian, pengetahuan itu bukan harta dalam bentuk uang atau materi pada umumnya; pengetahuan tidak memberikan tahta dalam bentuk kedudukan atau posisi; Pengetahuan juga bukan merupakan senjata dalam rupa alat untuk melukai, atau malah membunuh, orang lain. Â
Lebih dari semua itu, kegiatan membaca dan menulis memberikan values atau norma atau perspektif atau sudut pandang tertentu mengenai sebuah isu bagi seseorang. Dengan sudut pandang yang khas atau berbeda itu, seseorang memiliki identitasnya yang berbeda dari orang lain. Sebaliknya, dengan membaca dan menulis pula, orang dapat memahami perbedaan atau keanekaragaman.Â
Selanjutnya, perbedaan itu bukan berasal dari latar belakangnya, namun lebih didasarkan pada pandangan atau pendapatnya.
Selamat membaca dan menulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H