Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Myanmar Tidak Menentu dan Peran ASEAN Paska-KTT

8 Mei 2021   15:29 Diperbarui: 8 Mei 2021   16:23 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQFSZvs1NMFYStNvOX-VlbemsyxdJX6nHRhbg&usqp=CAU

Setelah Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Khusus ASEAN mengenai Myanmar (24/04/2021), nasib demokrasi Myanmar tampaknya malah tidak menentu. Ada dua faktor yang menimbulkan ketidakjelasan demokrasi di negeri itu.

Pertama, pemerintahan militer ternyata bukan satu-satunya aktor politik. Sejak kudeta 1 Februari, pemerintahan militer memang merupakan aktor dominan, setelah para tokoh National League for Democracy (NLD) dipenjara. Faktor ini yang membuat ASEAN mengundangnya pada KTT Khusus ASEAN 24 April yang lalu.

Pada KTT itu, pemerintahan militer Myanmar secara tidak terduga menunjukkan sikap positifnya melalui kehadiran Jenderan Min Aung Hlaing. Sikap Jenderal Hlaing yang bersedia mendengar dan menerima konsesus KTT itu juga dianggap sebagai tanda mengenai prospek peran ASEAN dalam penyelesaian krisis politik di Myanmar.a

Namun demikian, menjelang KTT Khusus ASEAN pada 24 April lalu, dinamika politik di Myanmar ternyata memunculkan aktor politik baru, yaitu Pemerintah Persatuan Nasional (National Unity Government/NUG). NUG dibentuk oleh beberapa aktivis penentang kudeta militer, termasuk para tokoh oposisi NLD dan kelompok entis minoritas.

Kedua, keberadaan NUG ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, NUG menjadi semacam struktur kesempatan baru  untuk membangun demokrasi di negeri itu. Dukungan NLD terhadap NUG akan semakin meningkatkan legitimasi politik NUG di antara berbagai kelompok oposisi.

Melalui NUG, masyarakat sipil memiliki perwakilan yang legitimate, selain parpol NLD, dan memperoleh pengakuan politik dari masyarakat internasional. Harapannya adalah masyarakat internasional akan lebih mempertimbangkan legitimasi politik NUG ketimbang pemerintahan militer.

Sebaliknya, di sisi lain, keberadaan NUG justru dianggap lebih memperumit situasi di Myanmar. NUG cenderung memandang ASEAN secara sinis. Ada kecenderungan NUG bersikap kritis terhadap upaya perdamaian yang diusulkan ASEAN melalui lima konsensus. 

Pada KTT Khusus ASEAN itu, NUG bahkan memprotes ASEAN yang telah mengundang Jenderal Hlaing. Sebaliknya, NUG menuntut ASEAN memberikan kursi perwakilan Myanmar kepadanya, bukan kepada pemerintahan militer.

Dalam konteks itu, kecil kemungkinan NUG menyepakati konsensus ASEAN, sebagaimana pemerintahan militer. Jika kondisi ini menjadi kenyataan, maka muncul skenario terburuk, yaitu bahwa NUG tidak mau menerima konsensus KTT ASEAN itu. 

Kenyataan itu semakin menambah kompleks demokratisasi di negeri itu. Sebelum NUG dibentuk, demokratisasi Myanmar sangat sulit diwujudkan oleh pemerintahan militer. Kudeta militer terhadap pemerintahan sipil pada 1 Februari menjadi pertanda bahwa demokrasi di negeri itu tidak bisa dipercayakan begitu saja kepada militer.

Sekarang keberadaan NUG bukannya mempermudah, namun mempersulit prospek demokratisasi di Myanmar. Apalagi NUG memiliki sikap tegas, yaitu tidak mau berunding atau mendengarkan pemerintahan militer yang dipimpin oleh Jenderal Hlaing. Sikap keras NUG tersebut sama saja dengan menolak keberadaan pemerintahan sipil. 

Peran ASEAN

Dengan perkembangan politik yang dinamis itu, peran ASEAN dalam mengkonstruksi masa depan yang demokratis di Myanmar akan sangat tergantung pada persetujuan pemerintahan sipil dan NUG. Situasi itu memberikan tantangan berat bagi ASEAN untuk membuka dialog dengan NUG. 

ASEAN perlu menempatkan NUG dalam posisi sama dengan pemerintahan militer. Selain itu, peran ASEAN juga diarahkan untuk mendorong NUG menerima posisi de facto pemerintahan militer. Upaya NUG mengabaikan kekuasaan domestik dari pemerintahan militer tidak bisa dilakukan, tanpa menimbulkan resiko terhadap masyarakat Myanmar.

Posisi yang seimbang antara pemerintahan sipil dan NUG itu sangat strategis bagi masa depan demokratisasi di Myanmar. 

Dengan posisi itu, kedua pihak diharapkan dapat menerima ASEAN dengan konsensusnya. Ada lima butir konsensus yang dihasilkan KTT Khusus ASEAN, yaitu: penghentian segera kekerasan di Myanmar, perlunya dialog konstruktif menuju solusi damai, penunjukan utusan khusus sebagai mediator dialog, bantuan kemanusiaan, dan kunjungan utusan khusus dan delegasi ASEAN ke Myanmar.

Hingga jari ini, pemerintahan militer Myanmar belum menunjukkan komitmen nyata dalam pelaksanaan kelima konsensus itu. Sementara itu, NUG juga masih dalam posisi tidak mengakui pemerintahan militer, seperti juga sebaliknya. 

Sikap saling tidak mengakui itu seharusnya mendorong mereka untuk memberikan peran penengah atau mediasi kepada ASEAN sebagai pihak yang dianggap paling dekat dengan kedua pihak itu. Namun demikian, proses ke arah itu tampaknya masih harus menemui jalan panjang.

Dengan atau tanpa peran ASEAN sebagai penengah/mediator, nasib demokratisasi di Myanmar lebih ditentukan oleh dinamika interaksi politik di antara NUG dan pemerintahan sipil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun