Salah satu hobi saya adalah mengumpulkan atau koleksi alias kliping opini koran. Dulu ketika perkembangan internet belum secanggih sekarang, saya berlangganan koran Kompas dan membeli koran lain, seperti Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Koran Tempo, dan Media Indonesia. Sekarang, hobi ini masih saya lakukan, walaupun tidak se-radikal di jaman dulu (jadul). Internet dan asesori-nya telah menawarkan banyak kemudahan dalam cara mengumpulkan opini koran.
Dulu, ada semacam ritual mingguan. Setelah menumpuk koran-koran itu selama satu minggu, saya buka halaman opini dan menggunting opini yang berkaitan dengan isu-isu hubungan internasional. Guntingan-guntingan opini itu lalu saya tempelkan di selembar kertas untuk menjadi kliping. Di kertas itu, saya menuliskan nama koran dan tanggal terbitnya.
Hobi kliping opini koran itu tidak jauh dari kuliah di jurusan hubungan internasional dan pekerjaan saya sebagai dosen. Hingga lima tahun yang lalu, saya masih menekuni hobi ini secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Beberapa filing cabinet terpaksa disesaki oleh kliping opini koran ini, baik yang di kantor maupun di rumah.
Dengan hobi kliping opini koran itu, ada empat manfaat yang saya peroleh, antara lain:
1. Memahami isu tertentu
2. Belajar cara menjelaskan sesuatu
3. Mengetahui siapa bicara apa dan bagaimana menjelaskannya
4. Memberi motivasi untuk membaca dan menulis secara efektif
Keempat alasan itu secara tidak sadar membuat saya bisa melakukan pemetaan (mapping) secara sederhana dan terbatas. Pemetaan ini tentu saja berkaitan dengan berbagai hal dalam hubungan internasional.
Sayangnya, kumpulan opini koran ini harus memperoleh protes dari orang rumah. Apalagi, anak-anak sudah besar dan memerlukan ruang penyimpanan juga. Alhasil, kliping opini koran itu harus dipilih dan dipilah, serta direlakan beberapa untuk dibuang. Ada perjuangan batin tersendiri ketika kliping yang sudah bertahun-tahun dikumpulkan itu harus dibuang percuma:(
Sekarang, kliping opini koran itu masih ada sisa-sisanya. Meski begitu, jumlahnya ternyata masih cukup banyak. Masih ada kliping opini koran tahun 1997. Misalnya opini dari Kwik Kian Gie dan ekonomi kritis lainnya tentang sepak terjang konglomerat sebagai salah satu penyebab krisis ekonomi 1997. Ada juga opini Juwono Sudarsono ketika saya masih mahasiswa di satu-satunya universitas negeri di Yogyakarta pada waktu itu.
Hobi mengkoleksi opini koran (seperti yang lainnya) tampaknya memang sederhana, namun memberi manfaat besar. Sesuatu yang pada awalnya sekedar mengumpulkan satu per satu opini koran itu ternyata semakin bertambah banyak.
Di jaman serba internet sekarang, hobi koleksi opini koran masih berlangsung secara digital. Beberapa penyesuaian mengenai kemampuan dan ketekunan untuk membuat beberapa folder berisi opini-opini khusus di komputer. Yang paling penting adalah kemampuan untuk mengingat di folder apa saya menyimpan file tentang opini tertentu dan di komputer yang mana (di kantor atau rumah).Â
Walaupun kita bisa menyimpan di hardisk eksternal, tetap saja kita harus memiliki kemampuan mengingat itu. Ini sangat berbeda dengan di jaman dulu yang cukup dimasukkan ke lemari khusus atau di ruangan di rumah atau kantor.
Diperlukan jiwa seorang kolektor untuk mengatur dan mengorganisasikannya dengan baik dan rapi. Jika tidak seperti itu, maka koleksi opini koran (atau koleksi lainnya) akan terserak, tersebar, dan berantakan. Alih-alih menjadi seorang kolektor, orang itu malah menjadi seorang hoarder alias pengumpul barang-barang yang biasanya hanya memenuhi rumah dan membuat rumah berantakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H