Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Siasat Anak Kost Jadul Mengatur Keuangan Selama Bulan Puasa

18 April 2021   20:23 Diperbarui: 18 April 2021   20:41 1275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Piye, enak jamanku to?" begitulah slogan untuk menjelaskan betapa mudah, murah, dan enaknya kehidupan di Indonesia di jaman dulu (jadul), khususnya di era Presiden Suharto. Ini bukan untuk melecehkan. Bukan pula menjelaskan aspek politik dari kehidupan anak kost di masa ototitarian Orde Baru. 

Terlalu banyak cerita-cerita politik yang sebenarnya atau versi-versi tertentu. Bukan pula untuk membandingkannya dengan kehidupan sekarang yang serba susah, mahal, dan seterusnya. Apalagi, selanjutnya, membandingkan masa Suharto dengan masa Jokowi dalam konteks politik. Bukan itu.

Tulisan ini hanya ingin mengungkapkan sekelumit kenyataan pengalaman mengatur keuangan sebagai anak kost di tahun 1988-1993an di Yogyakarta. Demi berkontribusi pada topik pilihan di bulan Ramadhan ini, saya memerlukan menarik ingatan ke masa muda dulu. 

Apalagi, mas Dab lagi uring-uringan. Tanpa sebab jelas, motornya si Pitung tetiba 'ngambek'. Akibatnya, dia menolak bercerita pengalaman jadulnya sebagai anak kost. Jadi ya terpaksa saya menuliskan pengalaman saya sendiri:)

Konteks besarnya adalah pertama, pertumbuhan ekonomi positif stabil seperti pandangan berbagai pengamat ekonom domestik semacam Iwan Jaya Azis dan Chatib Basri. Bahkan ekonom asing semacam Hal Hill, Milton Friedman atau Krugman juga memandang perekonomian Asia, termasuk Indonesia, sudah sesuai dengan rel ekonomi dunia. 

Indonesia pun menyatakan siap mengikuti globalisasi. Dolar AS waktu itu di kisaran Rp 750 hingga Rp 1.000. Seingat saya, menjelang krisis ekonomi 1997 dolar AS naik ke angka Rp 1.250.

Kedua, pada saat itu semua serba satu, misalnya satu televisi nasional TVRI. Tidak ada handphone. Yang menjamur adalah telepon umum atau wartel alias warung telepon untuk sambungan interlokal atau internasional. 

Internet belum ada, sehingga tidak ada gojek atau tokopedia dan semacamnya. Kebanyakan mahasiswa naik motor atau bis umum ke kampus. Yang naik sepeda pun tidak sedikit. 

Hawa kota Yogyakarta masih lebih dingin. Jika beruntung, anak kost masih mendengar sayup-sayup suara kereta kuda lewat atau suara genderang prajurit kraton yang tidak ketemu wujudnya:)

Lalu, konteks kecilnya adalah uang saku saya satu bulan Rp 30.000. Ditambah uang bulanan kost sebanyak Rp 10.000. Jadi, pengeluaran 1 hari maksimal Rp 1.000 all-in buat makan 3 kali sehari, dll. Saya tidak tahu jumlah itu terlalu proletar atau malah terlalu borjuis. Begitulah aturan umum keuangan sebagai anak kost jadul hingga lulus kuliah bersama mas Dab. Suasana rumah kost adalah sebagian besar berpuasa. Jadi saya pun sering ikut-ikutan berpuasa demi mengatur keuangan yang se-level itu. 

Saya ikut berpuasa sebagai hasil evaluasi pengalaman satu-dua tahun sebelumnya. Sebulan sepanjang bulan puasa, warung-warung tutup cepat, lalu buka lagi jam 4an sore. Masih banyak warung lain yang buka, tapi kebanyakan harus ke pinggir-pinggir jalan besar. 

Bisa dimaklumi, sepanjang bulan puasa itu warung-warung kost mengubah jam buka dari jam 3an subuh. Ketika sarapan jam 8an, lauk biasanya sudah menipis pilihannya dan tidak bisa seenaknya mengambil nasi. 

Warung gudeg di belakang kost yang seporsi Rp 200 sudah mendapatkan lauk telur separuh itu pun tetiba malah tutup jam 7 pagi. Ketika teman kost makan sahur, saya pun ikut ke warung gudeg itu.

Begitulah alasan ikut berpuasa yang ternyata menimbulkan hasil tak terduga. Salah satunya adalah uang saku bulanan Rp 30ribu itu ternyata masih sisa! Lumayan. Kondisi keuangan itu menjadi berlebih bagi teman-teman yang berpuasa. 

Ada beberapa pelajaran penting dari situasi di masa "Piye, enak jamanku to?" itu bagi anak atau mahasiswa kost. 

Pertama, bulan Puasa tidak perlu menambah pengeluaran baru. Selama bulan puasa, pengeluaran makan siang bisa masuk ke tabungan. Bahkan kadangkala ada 'drama' tidak bangun pas sahur. 

Bisa dibayangkan jika tabungan uang saku makan siang itu utuh hingga hari Lebaran. Baju baru atau oleh-oleh buat bapak dan ibu di rumah bisa menjadi bayangan mahasiswa kost pada waktu itu, ketika mereka pulang menjelang hari raya Idul Fitri.

Kedua, bulan puasa biasanya menghadirkan banyak kegiatan buka puasa bersama. Walau tidak selalu berharap, namun undangan itu ada saja. Seminggu ada setidaknya satu hingga dua undangan berbuka puasa. 

Organisasi kampus, jurusan, atau bapak/ibu dosen yang berbaik hati mengundang berbuka puasa bersama. Bertambah lagi tabungan pribadi karena tidak perlu membeli makan malam untuk berbuka puasa.

Ketiga, kenyataan itu biasanya membuat kami membuat acara berbagi kebahagian dan kebersamaan dengan panti asuhan di sekitar kampus atau kost. Kegiatan sederhana namun rutin tiap tahun ini menjadi penting untuk mengasah jiwa sosial dan spiritual para anak kost di sepanjang bulan puasa. 

Pada jaman itu, masih terlalu sedikit atau belum ada orang atau mahasiswa yang beramai-ramai berjualan atau berbagi takjil di pinggir jalan di seputaran kampus. Memang ada di daerah-daerah seperti Kauman atau Jogokaryan, tapi itu jauh dari lokasi kost. Kegiatan-kegiatan buka puasa bersama belum sebanyak di masa sekarang hingga sebelum pandemi ini.

Sekali lagi ini bukan untuk membandingkan situasi kini dan jadul semasa menjadi anak kost, namun lebih memberikan gambaran kenyataan pada saat itu. 

Jangan hanya tertarik pada angka-angkanya saja. Jika tertarik dengan masa itu dan ingin menikmati kehidupan jadul yang serba murah itu, bawalah dan nikmatilah pula konteks besarnya, yaitu kehidupan di masa Orde Baru...hehehe...

Pada saat itu pertumbuhan ekonomi stabil dan positif, namun tingkat konsumsi makanan belumlah seperti jaman kini. Kehidupan politik juga stabil dengan dominasi aparat keamanan dan satu partai politik pemerintah.

Sedangkan kondisi sekarang ditambah dengan pandemi. Konsekuensi langsungnya adalah memaksa banyak anak kost atau mahasiswa harus pulang kampung. Mereka tidak mendapatkan lagi uang saku bulanan seperti ketika berada di kost. 

Perubahan ini tentu saja mempengaruhi siasat anak kost sekarang melakukan tata kelola keuangannya di sepanjang bulan Ramadhan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun