Melalui segmen atau rubrik diary diplomasi ini, fokus perhatian diarahkan pada kebijakan luar negeri dan/atau diplomasi yang dijalankan oleh berbagai pemerintahan yang pernah berkuasa di negeri tercinta ini.Â
Ada beberapa alasan mengapa catatan atau diary ini penting.
Pertama, catatan ini dapat menunjukkan persamaan dan perbedaan dalam kebijakan luar negeri atau praktek diplomasi. Masing-masing pemerintahan memiliki pertimbangan-pertimbangan sendiri dalam merumuskan kebijakan luar negeri tertentu. Ada faktor-faktor domestik dan internasional yang berperan dan menghasilkan sebuah kebijakan tertentu.
Kedua, catatan ini juga menunjukkan kelebihan dan kelemahan dari kebijakan luar negeri dan diplomasi dari setiap presiden atau pemerintahan. Melalui bahasan ini, kita dapat melihat sejauh mana pemerintahan pengganti menanggapi kelebihan dan kelemahan kebijakan luar negeri dari pemerintahan sebelumnya.
Ketiga, diary diplomasi ini dapat menunjukkan perubahan dan kesinambungan dari kebijakan luar negeri atau praktek diplomasi Indonesia mengenai berbagai isu internasional. Misalnya adalah sejauh mana kesinambungan dukungan berbagai pemerintahan Indonesia sejak reformasi 1998 terhadap isu Palestina.
###
Berbeda dengan pemerintahan BJ. Habibie, orientasi kebijakan luar negeri pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur biasanya disebut sebagai persatuan.Â
Orientasi diplomasi ini muncul sebagai representasi dari situasi politik domestik pada saat itu. MPR memilih dan mengangkat Gus Dur menjadi presiden ke-4 sebagai hasil dinamika politik di lembaga tertinggi negara itu.
Melalui diplomasi persatuan itu, kurang lebih 20 bulan pemerintahan Gus Dur telah mengedepankan upaya-upaya pemulihan ekonomi domestik dengan cara meningkatkan kepercayaan Internasional.Â
Selain itu, pemerintahan Gus Dur juga berupaya keras mendapatkan dukungan terhadap kedaulatan NKRI dari negara-negara lain.
Salah satu bentuk nyata dari upaya mencapai tujuan itu adalah kunjungan atau perjalanan internasional. Selama memerintah, presiden Gus Dur telah mengunjungi lebih dari 80 negara.Â
Komitmen pemerintahan Gus Dur terhadap reformasi ekonomi menghasilkan dukungan kembali dari IMF. Lembaga keuangan internasional itu bersikap negatif terhadap Indonesia. Lebih jauh, IMF menarik dukungannya terhadap kebijakan reformasi dari pemerintahan Habibie sebagai akibat dari persoalan ekonom dan politik domestik.
Selain itu, diplomasi persatuan pemerintahan Gus Dur menghasilkan dukungan dan pengakuan atas integrasi nasional Indonesia dari pemimpin negara-negara, seperti anggota ASEAN, Jepang, RRC, negara Timur Tengah, dan sebagainya. Dukungan ini memainkan peran signifikan bagi pemerintah Indonesia berkaitan dengan menguatnya tuntutan desentralisasi dan, bahkan, desakan separarisme.
Melanjutkan Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, dalam hampir dua tahun masa kepresidenan, mengarahkan kebijakan luar negeri Indonesia melalui serangkaian inisiatif bilateral dan multilateral.Â
Presiden menghidupkan kembali hubungan dan kerja sama Indonesia dengan banyak negara, dan mengikuti South Summit - G77 di Havana - serta Millennium Summit di New York. Inisiatif penting lainnya dari kepresidenannya adalah pembentukan Dialog Pasifik Barat Daya (the Southwest Pacific Dialogue), yang hingga saat menempatkan pengaruh Indonesia di kawasan itu.
Selain capaian-capaian itu, kebijakan luar negeri pemerintahan Gus Dur ternyata juga menimbulkan kontroversi. Salah satunya adalah rencana pembukaan hubungan bilateral Indonesia dengan Israel. Berbagai perdebatan publik mengenai rencana itu berujung pada pembatalan kebijakan itu. Situasi politik domestik belum memungkinkan hubungan bilateral kedua negara ditingkatkan.
Secara keseluruhan, diplomasi persatuan pemerintahan ini sangat menarik mengingat konteks ekonomi dan politik pada saat itu. Konteks itu tampak pada faktor-faktor domestik dan internasional yang berperan sebagai penentu kebijakan luar negeri sebuah negara, termasuk Indonesia.
###
Jika dibandingkan dengan pemerintahan Habibie, maka pemerintahan Gus Dur lebih leluasa dalam menjalankan diplomasinya. Presiden Habibie lebih memilih selalu berada di Indonesia selama pemerintahannya, tanpa pernah melakukan kunjungan kenegaraan.Â
Kebijakan pemerintahan Habibie ini sangat wajar mengingat situasi ekonomi politik yang genting setelah pengunduran diri Presiden Suharto pada 19 Mei 1998. Apalagi stigma bahwa pemerintahan Habibie merupakan kelanjutan dari pemerintahan Suharto menjadi pertimbangan politik Yang penting bagi kebijakan presiden Habibie.
Sebaliknya, presiden Gus Dur tampak berusaha keras mendapatkan dukungan dari berbagai negara melalui kunjungan-kunjungan internasionalnya. Tidak ada jalan lain bagi presiden Gus Dur, kecuali mendatangi negara-negara itu dan meminta komitmen dukungan secara langsung dan berhasil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H